Selasa, 16 Desember 2014

Masalah...

Awan begitu kontras, dalam birunya langit sore yang cerah. Bersih dari kelam dan keruhnya polusi, atau bahkan riuhnya angin yang biasa menerpa. Menunjukan kesan berbeda di akhir pekan kali ini. Berbeda dengan cuaca yang begitu terang dan riang, suasana kantin malah riuh dan jenuh oleh gemuruh.
Teman-temanku sedang berkumpul, mereka mengerumuni meja kantin dan memberatinya dengan beban yang luar biasa. Tas dan laptop juga kamera ada di atas meja, tak lupa helm dan jaket juga ditaruh disana. Bahkan kaki mereka selonjorkan mengukur panjangnya kursi, tubuh-tubuh berbobot direbahkan memadati tempat itu.
Entah apa yang dipikirkannya, tak ada aktivitas berarti mereka lakukan. Mereka hanya diam dan termenung, dan tebaran tubuh-tubuh itu memang membuat kantin terlihat sesak. Tak sepatah kata mereka keluarkan, tak ada apapun yang mereka kerjakan selain diam. Diam, diam dan diam.
Sebagian pengunjung kantin telah beranjak, tapi mereka masih saja begitu. Masih bungkam seribu bahasa, seakan menunggu sesuatu. Tapi apa, aku hanya dapat mengira-ngira tanpa bisa bertanya. Mereka membawaku ke kantin dan menyuruhku menunggu, untuk apa.
Waktu menunjukkan pukul satu lebih dua puluh tujuh menit, kantin telah ditutup. Semua pengunjung dan penghuninya telah pergi kecuali kami, yang ada di sini sekarang hanya aku dan teman-temanku. Kami duduk di dua meja yang bersebelahan, masih diam tak bersuara.
Aku dan Aina duduk di meja sebelah kiri, paling ujung di dekat tembok. Sementara Aji dan Ikbal ada di meja kedua, meja paling tengah yang berada di depan madding. Hanya Yauri yang berbeda sendiri, dia berdiri diantara meja kami sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap lurus ke depan, pikirannya melayang entah kemana.
Memang dialah yang mengumpulkan kami, hendak mengatakan apa aku tak tahu. Tapi kalau dilihat dari espresinya, ini hal yang penting. Kami semua menunggu, apa yang akan keluar dari mulut Yauri.
Aku mulai bosan, “Yau emangnya kamu mau ngomong apa sih?” tanyaku membuka pembicaraan. “kamu ngumpulin kita disini pasti ada sesuatu, apa Yau. Kita nggak mungkin diem terus kan, udah hampir sejam lebih kita duduk disini dan kamu nggak ngomong-ngomong.”
Yauri masih tak bergerak.
“Aji, Bay ngomong dong. Nggak mungkin kan kita disini terus, buat apa coba?”
Ikbal membenamkan wajahnya pada tumpukan tas, sementara Aji hanya menghela nafas dan menyandarkan tubuh pada meja di belakangnya. Mereka mencoba sabar menunggu Yauri bicara, mereka tak mau bicara apapun sebelum Yauri yang memulai.
Mereka membuatku jengkel, “Kenapa sih, emang ini ada apa?” kupalingkan wajah pada Aina. “Ai…” dia tidak menggubris, dia malah asik dengan HP-nya. “Semuanya tuh kenapa?”
Semua membuatku jengkel, ingin rasanya aku pergi dari tempat itu. “Nov…” aku menoleh, “Sorry aku ngumpulin kalian” Yauri angkat bicara. “Aku sengaja ngumpulin kalian disini buat ngomongin sesuatu, ini soal kita berlima.”
“Yang waktu itu?” potongku.
Aji mengangguk.
“Ya bener” Yauri melanjutkan. “Ini soal si kawe, kita nggak bisa selamanya gini. Nggak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang  ancaman si kawe, masa kita tiap hari harus bawa sapu lidi kemana-mana. Ini udah nggak bisa diterima lagi, jadi aku ngumpulin kalian disini buat ngebahas rencana nangkep si kawe.”
“Tapi gimana?” Aji menjawab, “Tamparan dia di pipi, badan aku semua gemeter. Dan dia bilang semua keluarga aku…, aku nggak mau nyelakain mereka.”
“Iya ji, justru kalo kamu takut dia makin kuat” sanggah Ikbal, “Aku setuju sama Yauri, kita harus nangkep si akang kawe.”
“Kamu bisa bilang gitu Bal, soalnya kamu pergi waktu itu. Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain, ini bukan cuma menyangkut aku aja tapi juga keluarga aku. Aku nggak mau mereka celaka, aku nggak mau!”
“Eh ji, kita boleh takut. Tapi bukan berarti selamanya kita harus takut, sekarang udah waktunya kita bangkit. Kamu nggak mau keluarga kamu celaka kan, sekarang waktunya buktiin hal itu.”
“Iya ji, si Yauri bener” tambah Ikbal.
“Kalo kamu sayang sama keluarga kamu, ayo kita lawan si kawe. Kecuali kalo kamu mau biarin mereka di bawah tekanan si kawe, turutin aja maunya. Tapi kalo nggak, minimalnya kita berusaha.”
Aji menunduk dan terdiam.
“Gimana ji, setuju?” Tanya Yauri. “Kita nggak bisa selamanya sembunyi, emang si kawe itu siapa. Dia bukan siapa-siapa, dia cuma orang yang muncul karena sebuah kecelakaan.”
“Jadi Yau gimana?” tanyaku. “Kita harus ngapain, kamu sendiri yang bilang tenaganya segede gajah. Kamu aja kan mau dibanting, gimana?”
“Vi kamu sendiri tahu, dia Cuma bayangan. Dan dia takut sama lidi, kiti pukul aja dia sama itu.”
“Tapi gimana?” potong Aina.
“Gini,” Yauri melihat Aina, kemudian dia memandangku “Vi kamu kan pernah dikasih sesuatu sama dia bener?”
Aku mengangguk.
“Kamu pasti tahu bedanya dia sama yang asli?”
“Heeh”
“Nah kamu pancing dia supaya ngobrol sama kamu lagi, nanti dari belakang aku bakal nangkep dia. Sisanya yang lain, mukul dia pake lidi!”
“Tapi apa itu mungkin?” kembali Aina bertanya.
“Ya kalo nggak dicoba nggak bakal tahu, iya kan ji?” Ikbal menyenggol Aji.
“Bener!” jawab Aji, “Aku ikut.”
“Nah gitu, jadi semua sepakat.”
“Aku belum bilang mau loh…” kataku pada semua.
“Tapi suara kamu tuh sedikit, yang menang tuh yang suaranya banyak. Kita ber-empat kamu sendiri, gimana?” Aji menimpali ucapan ku.
“Jadi semua setuju?” Tanya Yauri.
Semua mengangguk.
Dengan berat hati aku mengikuti keinginan semuanya, menjadi umpan si kawe. Memang, diantara kami berlima yang paling banyak berpapasan dengan dia ya aku. Dan aku yang paling banyak masalah, dari awal dulu sampe kemarin pas diomelin aku terus yang kena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar