Awan begitu kontras, dalam birunya
langit sore yang cerah. Bersih dari kelam dan keruhnya polusi, atau bahkan
riuhnya angin yang biasa menerpa. Menunjukan kesan berbeda di akhir pekan kali
ini. Berbeda dengan cuaca yang begitu terang dan riang, suasana kantin malah
riuh dan jenuh oleh gemuruh.
Teman-temanku sedang berkumpul, mereka
mengerumuni meja kantin dan memberatinya dengan beban yang luar biasa. Tas dan
laptop juga kamera ada di atas meja, tak lupa helm dan jaket juga ditaruh
disana. Bahkan kaki mereka selonjorkan mengukur panjangnya kursi, tubuh-tubuh
berbobot direbahkan memadati tempat itu.
Entah apa yang dipikirkannya, tak ada
aktivitas berarti mereka lakukan. Mereka hanya diam dan termenung, dan tebaran
tubuh-tubuh itu memang membuat kantin terlihat sesak. Tak sepatah kata mereka
keluarkan, tak ada apapun yang mereka kerjakan selain diam. Diam, diam dan
diam.
Sebagian pengunjung kantin telah
beranjak, tapi mereka masih saja begitu. Masih bungkam seribu bahasa, seakan
menunggu sesuatu. Tapi apa, aku hanya dapat mengira-ngira tanpa bisa bertanya.
Mereka membawaku ke kantin dan menyuruhku menunggu, untuk apa.
Waktu menunjukkan pukul satu lebih dua
puluh tujuh menit, kantin telah ditutup. Semua pengunjung dan penghuninya telah
pergi kecuali kami, yang ada di sini sekarang hanya aku dan teman-temanku. Kami
duduk di dua meja yang bersebelahan, masih diam tak bersuara.
Aku dan Aina duduk di meja sebelah
kiri, paling ujung di dekat tembok. Sementara Aji dan Ikbal ada di meja kedua,
meja paling tengah yang berada di depan madding. Hanya Yauri yang berbeda
sendiri, dia berdiri diantara meja kami sambil melipat kedua tangannya di depan
dada. Matanya menatap lurus ke depan, pikirannya melayang entah kemana.
Memang dialah yang mengumpulkan kami,
hendak mengatakan apa aku tak tahu. Tapi kalau dilihat dari espresinya, ini hal
yang penting. Kami semua menunggu, apa yang akan keluar dari mulut Yauri.
Aku mulai bosan, “Yau emangnya kamu mau
ngomong apa sih?” tanyaku membuka pembicaraan. “kamu ngumpulin kita disini pasti
ada sesuatu, apa Yau. Kita nggak mungkin diem terus kan, udah hampir sejam
lebih kita duduk disini dan kamu nggak ngomong-ngomong.”
Yauri masih tak bergerak.
“Aji, Bay ngomong dong. Nggak mungkin
kan kita disini terus, buat apa coba?”
Ikbal membenamkan wajahnya pada tumpukan
tas, sementara Aji hanya menghela nafas dan menyandarkan tubuh pada meja di
belakangnya. Mereka mencoba sabar menunggu Yauri bicara, mereka tak mau bicara
apapun sebelum Yauri yang memulai.
Mereka membuatku jengkel, “Kenapa sih,
emang ini ada apa?” kupalingkan wajah pada Aina. “Ai…” dia tidak menggubris,
dia malah asik dengan HP-nya. “Semuanya tuh kenapa?”
Semua membuatku jengkel, ingin rasanya
aku pergi dari tempat itu. “Nov…” aku menoleh, “Sorry aku ngumpulin kalian” Yauri
angkat bicara. “Aku sengaja ngumpulin kalian disini buat ngomongin sesuatu, ini
soal kita berlima.”
“Yang waktu itu?” potongku.
Aji mengangguk.
“Ya bener” Yauri melanjutkan. “Ini soal
si kawe, kita nggak bisa selamanya gini. Nggak bisa terus hidup di bawah
bayang-bayang ancaman si kawe, masa kita
tiap hari harus bawa sapu lidi kemana-mana. Ini udah nggak bisa diterima lagi,
jadi aku ngumpulin kalian disini buat ngebahas rencana nangkep si kawe.”
“Tapi gimana?” Aji menjawab, “Tamparan
dia di pipi, badan aku semua gemeter. Dan dia bilang semua keluarga aku…, aku
nggak mau nyelakain mereka.”
“Iya ji, justru kalo kamu takut dia
makin kuat” sanggah Ikbal, “Aku setuju sama Yauri, kita harus nangkep si akang
kawe.”
“Kamu bisa bilang gitu Bal, soalnya
kamu pergi waktu itu. Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain, ini bukan cuma
menyangkut aku aja tapi juga keluarga aku. Aku nggak mau mereka celaka, aku
nggak mau!”
“Eh ji, kita boleh takut. Tapi bukan
berarti selamanya kita harus takut, sekarang udah waktunya kita bangkit. Kamu
nggak mau keluarga kamu celaka kan, sekarang waktunya buktiin hal itu.”
“Iya ji, si Yauri bener” tambah Ikbal.
“Kalo kamu sayang sama keluarga kamu,
ayo kita lawan si kawe. Kecuali kalo kamu mau biarin mereka di bawah tekanan si
kawe, turutin aja maunya. Tapi kalo nggak, minimalnya kita berusaha.”
Aji menunduk dan terdiam.
“Gimana ji, setuju?” Tanya Yauri. “Kita
nggak bisa selamanya sembunyi, emang si kawe itu siapa. Dia bukan siapa-siapa,
dia cuma orang yang muncul karena sebuah kecelakaan.”
“Jadi Yau gimana?” tanyaku. “Kita harus
ngapain, kamu sendiri yang bilang tenaganya segede gajah. Kamu aja kan mau
dibanting, gimana?”
“Vi kamu sendiri tahu, dia Cuma
bayangan. Dan dia takut sama lidi, kiti pukul aja dia sama itu.”
“Tapi gimana?” potong Aina.
“Gini,” Yauri melihat Aina, kemudian
dia memandangku “Vi kamu kan pernah dikasih sesuatu sama dia bener?”
Aku mengangguk.
“Kamu pasti tahu bedanya dia sama yang
asli?”
“Heeh”
“Nah kamu pancing dia supaya ngobrol
sama kamu lagi, nanti dari belakang aku bakal nangkep dia. Sisanya yang lain, mukul
dia pake lidi!”
“Tapi apa itu mungkin?” kembali Aina
bertanya.
“Ya kalo nggak dicoba nggak bakal tahu,
iya kan ji?” Ikbal menyenggol Aji.
“Bener!” jawab Aji, “Aku ikut.”
“Nah gitu, jadi semua sepakat.”
“Aku belum bilang mau loh…” kataku pada
semua.
“Tapi suara kamu tuh sedikit, yang
menang tuh yang suaranya banyak. Kita ber-empat kamu sendiri, gimana?” Aji
menimpali ucapan ku.
“Jadi semua setuju?” Tanya Yauri.
Semua mengangguk.
Dengan berat hati aku mengikuti keinginan semuanya,
menjadi umpan si kawe. Memang, diantara kami berlima yang paling banyak
berpapasan dengan dia ya aku. Dan aku yang paling banyak masalah, dari awal
dulu sampe kemarin pas diomelin aku terus yang kena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar