Rabu, 17 Desember 2014

Banyu Asri

Malamnya aku tidak bisa tidur, dalam pikiranku masih terbayang kejadian tadi siang. Aku yang akan dijadikan umpan si kawe dan semua rencana yauri, yang jujur semuanya membuatku tak ingin ke sekolah besok pagi. Pikiranku terus melayang, berputar-putar di langit-langit kamarku dan menampakkan segala kemungkinan yang nanti bisa terjadi.
Kulihat waktu menunjukan jam setengah sebelas, dan mataku masih tak mau menutup. Rasa gusar dan risih terus menghantuiku, memadatkan otakku dan membekukannya. Ribuan pertanyaan keluar dari pikiranku, apa yang akan terjadi besok dan bagaimana nasibku dan yang lainnya. Apakah kami akan berhasil, atau justru sebaliknya.
“Huh…” aku bangun, “Masa gini terus sih. aku enggak bisa, aku enggak boleh kayak gini!” aku beranjak dari ranjang, kuambil ponsel dan kucari nomor Yauri.
“Yau, kalo kamu baca pesan ini tolong cepet bales!” perasaanku jadi tidak enak, “Aku enggak bisa tidur malam ini, aku kepikira apa yang kamu bilang tadi siang. Aku enggak bisa tidur, dan sekarang perasaan aku enggak enak.”
Kuletakan HP setelah SMS terkirim.
“Moga aja si yauri belum tidur, dan semoga ini cuma perasaan aku aja…” aku merasa ada seseorang di belakangku, “Kamu siapa?” aku menoleh ke belakang. “Huh… ternyata emang cuma perasaan aku aja, enggak ada siapa-siapa.”
Aku kembali ke tempat tidur, tak lupa kubawa HP di tanganku. Waktu menunjukan setengah satu lebih lima, dan Yauri masih belum membalas pesan ku. “Aah… mungkin dia udah tidur, bĂȘte ih…” kulempar HP ke pinggir bantal, dan sebuah getar keluar darinya. Menandakan ada pesan yang masuk, aku bergegas mendekatinya.
“Itu pasti Yauri…” cepat kuambil kembali HP itu, “Har… loh kok?” aku terkejut. “Ini nomor siapa, perasaan aku enggak punya temen yang pake kartu as deh. Semua temen aku kan three…”, kubuka pesan itu “Malam Puja, kamu lagi mikirin aku ya?”
“Siapa si nih, … bentar dulu, dia panggil aku Puja…” aku tercengang, dan sebuah SMS kembali masuk “Ya bener, aku yang kalian omongin tadi. Sekarang aku ada di deket kamu, aku ngeliat kamu…”
“ENGGAK…” langsung kutarik selimut untuk menutupi tubuhku, dan HP langsung kumatikan.
Tubuhku bergetar hebat, kakiku terasa dingin dan kepalaku terasa sangat berat. Mataku pusing, tubuhku menggigil dan dadaku terasa sesak seperti ada yang menindihku dari atas. Aku tidak bisa bergerak, tangan dan kakiku terkunci. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, perlahan-lahan pandanganku kabur dan… aku… aku…

Keesokan paginya…
“Nov… Novi bangun, kamu sekolah cepet!”
“Iya Mah, bentar dulu… Novi ngantuk, bentar lagi ya…”
“Ini udah jam tujuh, kamu telat nanti. Cepet bangun!” ibu menarik selimutku.
Seketika aku terbangun.
“Hah serius mah?” mataku terbuka lebar, “Udah jam tujuh…” aku bergegas keluar dari tempat tidur.

Haduh aku panik, udah jam tujuh… aku bisa telat, bahaya... 
Yauri…

Tapi anehnya, saat aku tiba di sekolah tidak ada siapapun disana. Ruang kelasku masih kosong, aku tidak melihat Yauri atau temanku yang lain disana. Yang ada hanya beberapa pot bunga di atas loker, dan sebuah bangku yang sengaja di simpan di koridor depan kelas. Padahal ini jam tujuh lewat, tapi tidak ada siapa-siapa.
“Hah yang lain pada kemana?” aku mengecek ponsel, “Padahal ini udah hampir setengah delapan loh, tapi kok belum ada yang datang. Apa aku yang salah liat, ah enggak… bener kok udah setengah delapan. Tapi…” kuputuskan untuk pergi, “Udah ah ke kantin aja.”
Setibanya di kantin, “Nov, nov…” aku terkejut, semua temanku sedang berkumpul. “Sini cepet, kita mulai beraksi!”
“Hah…”
“Hah-heh-hoh, hah-heh-hoh… ayo sini” ikbal menarik tanganku agar aku cepat bergabung, “Suuuttttt, udah sekarang dengerin si Yauri ngomong!”
Aku bingung, tapi apa yang bisa aku lakukan. Semua sudah siap dengan rencana, dan aku hanya bisa pasrah mendengarkan.
“Oke ya semua ngerti, Novi sekarang kamu tunggu disini!” ujar Yauri, “Bentar lagi si kawe dateng, kamu ajak ngobrol. Entar aku sama Hasan yang bakal nangkep dia dari belakang…”
“Suuutttt, Yau dia detang!” Ikbal menghentikan percakapan kami, semua langsung bersiap dan aku mulai gelisah.
Dari kejauhan kulihat target kami sedang berjalan ke kantin dan dia tampak biasa, bersikap ramah kepada setiap yang berpapasan dengannya. Tidak tampak menakutkan seperti yang kami perkirakan, yang ini malah terlihat sangat baik dan sofan. Aku jadi ragu apakah ini kawe atau yang asli, dia tampak…
Aah.. tugas-ya-tugas peduli bener atau enggak.
“Kang!” aku menyapanya.
Dia melambaikan tangan.
“Sini aku mau ngomong bentar,” dia menghampiriku. “Kang duduk…” kakiku mulai gemetar, “Aku mau ngomong sesuatu sama akang” dia tersenyum. “Ini soal si Ayu, katanya dia ketahuan sama ayahnya!”
“Wah, serius?” target kami antusias, “Gimana bisa?”
“Gini loh kang,…” aku mulai bercerita, Yauri mendekatinya dari belakang. Saat dia hendak menangkapnya, tiba-tiba saja…
“Yor, kamu lagi ngapain?” dia menoleh pada Yauri, “Ngapain kamu ngendap-ngendap di belakang, kayak yang punya salah aja. Atau kamu punya kejutan, apa?”
“Eh, kang! Nggak kok, cuma pingin bercanda aja. Tapi, eh akangnya keburu nengok…” Yauri mengedipkan mata padaku, aku tak mengerti. “Iya kan San?” dia menyenggol tangan hasan di sebelahnya, “Kita lagi main kaget-kagetan.” Matanya kembali megedip pada hasan.
Aku ingin ketawa, tapi target kami malah berdiri. Dia mendekati Yauri dan Hasan, “Yor, San… kalian ini kenapa?” tangannya dijulurkan pada Yauri.
Sepontan Yauri mengambil sebatang lidi dari balik jaketnya, “Ah Kang, kena…!” dia mencambukan lidi itu pada target kami. Tapi tampaknya usahanya sia-sia, target kami berhasil menghindar. Tangannya dengan cepat menggapai leher Yauri, dia mengangkat kemudian membantingnya ke lantai.
“Aw…” jerit Yauri saat membentur lantai.
Sekarang giliran Hasan, lidi yang dipegangnya tampak tak berguna. Target kami berhasil mencengkram kedua bahunya, dia mengangkat dan melempar hasan ke depan ruang ATK.
Aku hanya diam, tubuhku serasa mematung. Aku tidak bisa bergerak, bahkan ketika Dia mendekati Hasan aku tak bisa berbuat apa-apa. Hasan dalam bahaya dan aku hanya bisa melihat, aku tidak bisa menolong.
Namun, “Haha…” Yauri tertawa. “Kena kamu!”
Target kami menunduk, dia melihat kakinya yang sedang menginjak sebatang lidi. Dia tiba-tiba berhenti, espresi wajahnya berubah. Dia menjadi pucat, seakan menemui apa yang ia takuti tubuhnya bergetar hebat.
Yauri menarik lidi itu dengan kuat, “Hah…” perlahan tubuh buruan kami membiru. “Hasan!” Yauri menghampiri Hasan, dia memapahnya untuk duduk di kursi kantin. “Hasan pingsan, kayaknya dia shok dilempar sama si kawe.”
“Terus gimana Yau?” aku bertanya.
“Kretak…” kami menoleh pada tubuh buruan kami yang membeku. “Kretak…” tubuhnya retak, mukanya mulai pecah.
Aku dan Yauri terdiam, kami berdua menyaksikan serpihan tubuh itu sedikit demi sedikit mengelupas. Dari balik es yang terkelupas aku melihat warna kulit yang sangat putih, halus dan juga terawat. Seperti kulit perempuan, dan memang benar. Saat bagian wajah dari tubuh buruan kami yang membeku terlepas, aku melihat wajah yang sangat indah.
Aku dan Yauri terperangah, “Hah…”
Dan ketika semua es yang menutupi tubuh itu terlepas, aku melihatnya. Seorang wanita yang sangat cantik, dia mengenakan kaos putih polos dan rok berwarna hitam. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, begitu lurus dan lebat. Aku kagum, ternyata si kawe yang selama ini kami buru ternyata adalah seorang wanita cantik.
“Nov jaga Hasan!” Yauri mendekati perempuan itu dan menodongnya dengan lidi, “Heh, siapa kamu? Kenapa kamu pake tubuh si akang? Jawab!”
Wanita itu tidak bicara, matanya masih terpejam dan tubuhnya masih mengeras. Namun serpihan es yang ada di sekelilingnya mulai mencair, es itu mengumpul membentuk bola Kristal berwarna bening. Kristal yang hanya sebesar genggaman tangan, tapi indahnya luar biasa.
“Woy jawab!” Yauri membentak, Dia tak memperhatikan keanehan di sekelilingnya.
Wanita itu membuka mata.
“Kaka…” espresi kaget terpancar dari wajahnya, “Dimana kaka?” dia tidak memperdulikan Yauri, dia berputar-putar mencari sesuatu. “Ah ini dia, syukurlah kaka enggak kenapa-napa?” dia mengambil Kristal berkilau itu dan menggenggamnya dengan erat, “Syukur…”
“Hey…” yauri mengarahkan lidinya pada wanita itu.
 Wanita itu melihat pada Yauri, dia menjentikan jari dan tiba-tiba sebuah kacamata telah bertengger di hidungnya. Kaca mata itu terbuat dari es, aku bisa melihatnya dari batangnya yang berkilau dan berembun. “Hah,” Dia tampak kaget dengan apa yang di pegang Yauri, “Ampun… maaf…” dia melekatkan kedua telapak tangannya di depan dada seperti orang yang meminta belas kasih.
“Siapa kamu?” Yauri bertanya, “Dari mana kamu dan kenapa kamu pake tubuh orang lain?”
“Aku…” dia termenung.
“Jawab!”
“Iya-iya aku jawab, aku jawab. Tapi, simpen dulu benda itu…”
Yauri menyembunyikan lidinya di balik punggung.
“Aku Asri, Banyu Asri. Dari, dari…” dia berpikir, “Aku lupa…”
“Bohong!“ sanggahku.
“Seriusan aku nggak inget, aku nggak tahu dari mana aku berasal.” Dia mengangkat tangannya di depan wajah.
“Ya udah, Duduk!” Yauri menodongnya kembali dengan lidi. Dan dia berjalan mengitari wanita itu, “Duduk!”
“Iya-iya aku duduk…” wanita itu berjalan ke arahku.
“Udah disitu, duduk!” Yauri mengacungkan lidinya.
“Iya!” wanita itu duduk di sebelah Hasa yang tidak sadarkan diri, dia menghadap padaku.
Yauri bergegas menghampiriku, kemudian melintangkan lidinya membentengi tubuh kami. Wanita itu hanya terdiam menatap kami, dan rasa risih serta takut tak nampak lagi dari wajahnya. Dia malah tersenyum, seakan mengetahui sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar