Malamnya
aku tidak bisa tidur, dalam pikiranku masih terbayang kejadian tadi siang. Aku
yang akan dijadikan umpan si kawe dan semua rencana yauri, yang jujur semuanya
membuatku tak ingin ke sekolah besok pagi. Pikiranku terus melayang,
berputar-putar di langit-langit kamarku dan menampakkan segala kemungkinan yang
nanti bisa terjadi.
Kulihat
waktu menunjukan jam setengah sebelas, dan mataku masih tak mau menutup. Rasa
gusar dan risih terus menghantuiku, memadatkan otakku dan membekukannya. Ribuan
pertanyaan keluar dari pikiranku, apa yang akan terjadi besok dan bagaimana
nasibku dan yang lainnya. Apakah kami akan berhasil, atau justru sebaliknya.
“Huh…”
aku bangun, “Masa gini terus sih. aku enggak bisa, aku enggak boleh kayak
gini!” aku beranjak dari ranjang, kuambil ponsel dan kucari nomor Yauri.
“Yau,
kalo kamu baca pesan ini tolong cepet bales!” perasaanku jadi tidak enak, “Aku
enggak bisa tidur malam ini, aku kepikira apa yang kamu bilang tadi siang. Aku
enggak bisa tidur, dan sekarang perasaan aku enggak enak.”
Kuletakan
HP setelah SMS terkirim.
“Moga aja
si yauri belum tidur, dan semoga ini cuma perasaan aku aja…” aku merasa ada
seseorang di belakangku, “Kamu siapa?” aku menoleh ke belakang. “Huh… ternyata
emang cuma perasaan aku aja, enggak ada siapa-siapa.”
Aku
kembali ke tempat tidur, tak lupa kubawa HP di tanganku. Waktu menunjukan
setengah satu lebih lima, dan Yauri masih belum membalas pesan ku. “Aah…
mungkin dia udah tidur, bĂȘte ih…” kulempar HP ke pinggir bantal, dan sebuah
getar keluar darinya. Menandakan ada pesan yang masuk, aku bergegas
mendekatinya.
“Itu
pasti Yauri…” cepat kuambil kembali HP itu, “Har… loh kok?” aku terkejut. “Ini
nomor siapa, perasaan aku enggak punya temen yang pake kartu as deh. Semua
temen aku kan three…”, kubuka pesan itu “Malam Puja, kamu lagi mikirin aku ya?”
“Siapa si
nih, … bentar dulu, dia panggil aku Puja…” aku tercengang, dan sebuah SMS kembali
masuk “Ya bener, aku yang kalian omongin tadi. Sekarang aku ada di deket kamu,
aku ngeliat kamu…”
“ENGGAK…”
langsung kutarik selimut untuk menutupi tubuhku, dan HP langsung kumatikan.
Tubuhku
bergetar hebat, kakiku terasa dingin dan kepalaku terasa sangat berat. Mataku
pusing, tubuhku menggigil dan dadaku terasa sesak seperti ada yang menindihku
dari atas. Aku tidak bisa bergerak, tangan dan kakiku terkunci. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa, perlahan-lahan pandanganku kabur dan… aku… aku…
Keesokan
paginya…
“Nov…
Novi bangun, kamu sekolah cepet!”
“Iya Mah,
bentar dulu… Novi ngantuk, bentar lagi ya…”
“Ini udah
jam tujuh, kamu telat nanti. Cepet bangun!” ibu menarik selimutku.
Seketika
aku terbangun.
“Hah
serius mah?” mataku terbuka lebar, “Udah jam tujuh…” aku bergegas keluar dari
tempat tidur.
Haduh aku
panik, udah jam tujuh… aku bisa telat, bahaya...
Yauri…
Tapi anehnya,
saat aku tiba di sekolah tidak ada siapapun disana. Ruang kelasku masih kosong,
aku tidak melihat Yauri atau temanku yang lain disana. Yang ada hanya beberapa
pot bunga di atas loker, dan sebuah bangku yang sengaja di simpan di koridor
depan kelas. Padahal ini jam tujuh lewat, tapi tidak ada siapa-siapa.
“Hah yang
lain pada kemana?” aku mengecek ponsel, “Padahal ini udah hampir setengah
delapan loh, tapi kok belum ada yang datang. Apa aku yang salah liat, ah enggak…
bener kok udah setengah delapan. Tapi…” kuputuskan untuk pergi, “Udah ah ke
kantin aja.”
Setibanya
di kantin, “Nov, nov…” aku terkejut, semua temanku sedang berkumpul. “Sini
cepet, kita mulai beraksi!”
“Hah…”
“Hah-heh-hoh,
hah-heh-hoh… ayo sini” ikbal menarik tanganku agar aku cepat bergabung,
“Suuuttttt, udah sekarang dengerin si Yauri ngomong!”
Aku
bingung, tapi apa yang bisa aku lakukan. Semua sudah siap dengan rencana, dan
aku hanya bisa pasrah mendengarkan.
“Oke ya semua
ngerti, Novi sekarang kamu tunggu disini!” ujar Yauri, “Bentar lagi si kawe
dateng, kamu ajak ngobrol. Entar aku sama Hasan yang bakal nangkep dia dari
belakang…”
“Suuutttt,
Yau dia detang!” Ikbal menghentikan percakapan kami, semua langsung bersiap dan
aku mulai gelisah.
Dari
kejauhan kulihat target kami sedang berjalan ke kantin dan dia tampak biasa,
bersikap ramah kepada setiap yang berpapasan dengannya. Tidak tampak menakutkan
seperti yang kami perkirakan, yang ini malah terlihat sangat baik dan sofan. Aku
jadi ragu apakah ini kawe atau yang asli, dia tampak…
Aah.. tugas-ya-tugas peduli bener atau
enggak.
“Kang!”
aku menyapanya.
Dia
melambaikan tangan.
“Sini aku
mau ngomong bentar,” dia menghampiriku. “Kang duduk…” kakiku mulai gemetar,
“Aku mau ngomong sesuatu sama akang” dia tersenyum. “Ini soal si Ayu, katanya
dia ketahuan sama ayahnya!”
“Wah,
serius?” target kami antusias, “Gimana bisa?”
“Gini loh
kang,…” aku mulai bercerita, Yauri mendekatinya dari belakang. Saat dia hendak
menangkapnya, tiba-tiba saja…
“Yor,
kamu lagi ngapain?” dia menoleh pada Yauri, “Ngapain kamu ngendap-ngendap di
belakang, kayak yang punya salah aja. Atau kamu punya kejutan, apa?”
“Eh,
kang! Nggak kok, cuma pingin bercanda aja. Tapi, eh akangnya keburu nengok…”
Yauri mengedipkan mata padaku, aku tak mengerti. “Iya kan San?” dia menyenggol
tangan hasan di sebelahnya, “Kita lagi main kaget-kagetan.” Matanya kembali
megedip pada hasan.
Aku ingin
ketawa, tapi target kami malah berdiri. Dia mendekati Yauri dan Hasan, “Yor,
San… kalian ini kenapa?” tangannya dijulurkan pada Yauri.
Sepontan
Yauri mengambil sebatang lidi dari balik jaketnya, “Ah Kang, kena…!” dia
mencambukan lidi itu pada target kami. Tapi tampaknya usahanya sia-sia, target
kami berhasil menghindar. Tangannya dengan cepat menggapai leher Yauri, dia
mengangkat kemudian membantingnya ke lantai.
“Aw…”
jerit Yauri saat membentur lantai.
Sekarang
giliran Hasan, lidi yang dipegangnya tampak tak berguna. Target kami berhasil
mencengkram kedua bahunya, dia mengangkat dan melempar hasan ke depan ruang
ATK.
Aku hanya
diam, tubuhku serasa mematung. Aku tidak bisa bergerak, bahkan ketika Dia
mendekati Hasan aku tak bisa berbuat apa-apa. Hasan dalam bahaya dan aku hanya
bisa melihat, aku tidak bisa menolong.
Namun,
“Haha…” Yauri tertawa. “Kena kamu!”
Target
kami menunduk, dia melihat kakinya yang sedang menginjak sebatang lidi. Dia
tiba-tiba berhenti, espresi wajahnya berubah. Dia menjadi pucat, seakan menemui
apa yang ia takuti tubuhnya bergetar hebat.
Yauri
menarik lidi itu dengan kuat, “Hah…” perlahan tubuh buruan kami membiru.
“Hasan!” Yauri menghampiri Hasan, dia memapahnya untuk duduk di kursi kantin.
“Hasan pingsan, kayaknya dia shok dilempar sama si kawe.”
“Terus
gimana Yau?” aku bertanya.
“Kretak…”
kami menoleh pada tubuh buruan kami yang membeku. “Kretak…” tubuhnya retak,
mukanya mulai pecah.
Aku dan
Yauri terdiam, kami berdua menyaksikan serpihan tubuh itu sedikit demi sedikit
mengelupas. Dari balik es yang terkelupas aku melihat warna kulit yang sangat
putih, halus dan juga terawat. Seperti kulit perempuan, dan memang benar. Saat
bagian wajah dari tubuh buruan kami yang membeku terlepas, aku melihat wajah
yang sangat indah.
Aku dan
Yauri terperangah, “Hah…”
Dan
ketika semua es yang menutupi tubuh itu terlepas, aku melihatnya. Seorang
wanita yang sangat cantik, dia mengenakan kaos putih polos dan rok berwarna
hitam. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, begitu lurus dan lebat. Aku kagum,
ternyata si kawe yang selama ini kami buru ternyata adalah seorang wanita
cantik.
“Nov jaga
Hasan!” Yauri mendekati perempuan itu dan menodongnya dengan lidi, “Heh, siapa
kamu? Kenapa kamu pake tubuh si akang? Jawab!”
Wanita
itu tidak bicara, matanya masih terpejam dan tubuhnya masih mengeras. Namun
serpihan es yang ada di sekelilingnya mulai mencair, es itu mengumpul membentuk
bola Kristal berwarna bening. Kristal yang hanya sebesar genggaman tangan, tapi
indahnya luar biasa.
“Woy
jawab!” Yauri membentak, Dia tak memperhatikan keanehan di sekelilingnya.
Wanita
itu membuka mata.
“Kaka…”
espresi kaget terpancar dari wajahnya, “Dimana kaka?” dia tidak memperdulikan
Yauri, dia berputar-putar mencari sesuatu. “Ah ini dia, syukurlah kaka enggak
kenapa-napa?” dia mengambil Kristal berkilau itu dan menggenggamnya dengan
erat, “Syukur…”
“Hey…”
yauri mengarahkan lidinya pada wanita itu.
Wanita
itu melihat pada Yauri, dia menjentikan jari dan tiba-tiba sebuah kacamata
telah bertengger di hidungnya. Kaca mata itu terbuat dari es, aku bisa
melihatnya dari batangnya yang berkilau dan berembun. “Hah,” Dia tampak kaget
dengan apa yang di pegang Yauri, “Ampun… maaf…” dia melekatkan kedua telapak
tangannya di depan dada seperti orang yang meminta belas kasih.
“Siapa
kamu?” Yauri bertanya, “Dari mana kamu dan kenapa kamu pake tubuh orang lain?”
“Aku…”
dia termenung.
“Jawab!”
“Iya-iya
aku jawab, aku jawab. Tapi, simpen dulu benda itu…”
Yauri
menyembunyikan lidinya di balik punggung.
“Aku
Asri, Banyu Asri. Dari, dari…” dia berpikir, “Aku lupa…”
“Bohong!“
sanggahku.
“Seriusan
aku nggak inget, aku nggak tahu dari mana aku berasal.” Dia mengangkat
tangannya di depan wajah.
“Ya udah,
Duduk!” Yauri menodongnya kembali dengan lidi. Dan dia berjalan mengitari
wanita itu, “Duduk!”
“Iya-iya
aku duduk…” wanita itu berjalan ke arahku.
“Udah
disitu, duduk!” Yauri mengacungkan lidinya.
“Iya!”
wanita itu duduk di sebelah Hasa yang tidak sadarkan diri, dia menghadap
padaku.
Yauri
bergegas menghampiriku, kemudian melintangkan lidinya membentengi tubuh kami.
Wanita itu hanya terdiam menatap kami, dan rasa risih serta takut tak nampak
lagi dari wajahnya. Dia malah tersenyum, seakan mengetahui sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar