Setelah
perempuan itu pergi perasaanku masih tidak bisa tenang, aku masih memikirkan apa
maksud dari semua ini. Kenapa aku bisa ditemukan di depan kelas yang terbakar,
bukankah waktu itu aku pingsan di koridor MIA Lima. Dan siapa orang-orang yang
berbaris di lorong itu, kenapa mereka menghilang.
Sebenarnya
apa arti semua ini, kepalaku semakin pusing. Setiap kali mempertanyakan hal
itu, tiba-tiba saja kepalaku menjadi sakit. Aku mengubah posisi tidurku, dari
semula terlentang menghadap langit-langit kini menghadap ke tembok.
Di
depanku ada sebuah meja yang menempel pada dinding, meja itu terletak di
sebelah kursi tempat perempuan tadi duduk. Di atasnya ada segelas air putih dan
sekeranjang buah-buahan, dari gelas itu aku bisa melihat bayanganku yang sedang
terbaring di ranjang.
“Itu…
Air…” aku memandang gelas tersebut. “Air… Air… Air…” tiba-tiba saja aku
teringat sesuatu. Aku langsung turun dari ranjang, kemudian kubuka pintu lalu
aku berlari meninggalkan tempat itu.
“Asri,…
Asri, dia masih ada di kelas.” Air mataku menetes mengingat Asri yang masih ada
di kelasku, tak terbayang olehku bagaimana keadaannya sekarang. Dia dan Tia
tidak ikut keluar saat aku dan teman-temanku berdesakan, dan aku pun tidak
melihatnya saat semua siswa dievakuasi menuju lapangan.
Apakah
dia masih ada di kelas, apakah dia masih hidup. Aku berlari sekuat tenaga
menuju kelasku, tak kuhiraukan semua orang yang menyapaku sepanjang lorong
sekolah. Yang kupikirkan saat ini adalah Asri, apakah dia selamat atau…
TIDAK…!
Upper Cloud
Sesampainya
di depan kelas, kusaksikan bangunan yang telah hitam bekas diterkam si jago
merah. Tak dapat kupercaya ini adalah kelasku, keadaannya begitu menyedihkan.
Padahal, dulu kelasku ini adalah kelas idaman.
Letaknnya
yang sangat strategis berada di puncak sekolah, menjadikannya kelas yang paling
didambakan. Dari sini bisa terlihat fanorama kota kembang yang indah,
dikelilingi oleh gunung-gunung yang hijau dan menjulang. Dan kelasku ini
merupakan pelarian semua siswa, mereka yang memiliki permasalahan biasanya
kesini untuk menghibur diri.
Tak cuma
itu, kadang kelasku adalah kelas termistis sesekolah. Bagaimana tidak, temanku
Sherlya sering melihat sosok-sosok aneh di kelasku ini. Bagiku kelas ini
menyimpan banyak kesan, dari yang memilukan sampai yang paling membahagiakan
semua kualami bersama teman-temanku disini.
Namun
sekarang semua tinggal kenangan, api telah melenyapkan semuanya. Kelasku yang
dulu ceria dan penuh warna, kini kelam dan hitam. Tak nampak lagi keindahan dan
keangkeran darinya, yang ada sekarang adalah iba dan kasihan.
Namun,
aku merasakan sesuatu yang janggal. Bangunan MIA Empat yang berada di samping
kelasku tampak lebih parah, bangunannya tak lagi berdiri. Berbeda dengan
kelasku, ruangan itu hanya tinggal puing-puing dan tak berbentuk lagi. Tapi
kelasku masih kokoh, hanya warnanya saja yang berubah jadi hitam.
Dia masih
tegak berdiri walaupun api besar melahapnya hingga gosong, dindingnya masih
kokoh dan tiang-tiangnya utuh. Apa yang sebenarnya terjadi, perlahan aku
mendekatinya. Kuintip situasi di dalam lewat jendela, aku terkejut.
“Ini
enggak mungkin,” aku menggelengkan kepala. “Tirainya masih utuh, dia tidak
terbakar.” Aku berlari menuju pintu, “Ini juga, pintunya enggak hancur.
Bagaimana bisa?”
Aku
membuka pintu dan masuk ke dalam kelas.
“Apa…”
aku terkejut, “Ini mustahil, semua kursi dan meja yang ada dikelas ini tidak
terbakar. Bagaimana bisa?”
“Hey!”
sebuah suara mengagetkanku, “Kamu enggak pulang Ja?” itu suara Asri. “Ini udah
malem, kamu ngapain disini?”
Aku
berbalik, Asri dan Tia masih ada di dalam kelas. Di hadapan mereka sebuah api
unggun sedang berkobar, di atasnya seekor ikan sedang dipanggang bersama
beberapa batang bambu.
Air
mataku langsung keluar, aku berlari menghampiri mereka.
“Asri…”
aku memeluk Asri yang sedang memegang seekor ikan ditangannya.
“Kamu
kenapa Ja?” dia tampak kaget dengan sikapku itu. Namun aku tak peduli,
mengetahui Asri masih hidup perasaanku menjadi sangat bahagia. “Hey, hey
lepasin… aku enggak bisa nafas, Ti tolongin…”
“Tia,”
aku berbalik. “Aaa…” kupeluk Tia dengan erat.
“Ohok…
ohok… sebenarnya kamu itu kenapa sih Ja?”
“Dia ini
seneng karena kita masih hidup, benerkan?”
Memang
benar apa yang dikatakan Tia, aku bahagia mereka masih hidup. “Iya!”
Upper Cloud
“Nah
akhirnya mateng juga,” Tia mengambil semua ikan dan bambu dari api unggun. “Novi,
Asri sini!”
“Ja ayo!”
Asri menarik tanganku agar menghampiri Tia.
“Ini buat
Asri, ini ikannya dan ini nasinya!” dia memberi Asri sebatang bambu dan seekor
ikan, “Nah ini buat Novi!” dan dia juga memberiku benda yang sama.
“Ini
ikannya, tapi mana nasinya?” tanyaku pada Tia.
Dia
tersenyum.
“Sini!”
Asri mengambil bambu yang diberikan Tia padaku, dia membekukan air untuk
membuat pisau. “Nasinya tu disini…” Dia membelah bambu itu, “Nih!” dia
mengembalikannya padaku.
Nasinya ternyata
ada di dalam bambu, aku tak mengira bahwa Tia bisa membuat makanan seperti ini.
Ini menakjupkan, tak kusangka mereka bisa selamat dari kebakaran tadi. Kemudian
mereka memasak menggunakan sisa dari kebakaran itu, ini luar bisa.
Kami makan
bersama, kekagumanku pada mereka makin bertambah. Tak hanya membantuku dan
teman-temanku, mereka juga menjaga bangunan kelasku agar selamat dari
kebakaran. Mereka ini sangat hebat, kuakui itu.
“Ja, kamu
enggak pulang?” Asri bertanya.
“Inikan
belum bel,” jawabku sambil mengunyah. “Lagian kan kita mau nangkep si kawe…”
“Kamu
enggak salah,” Tia melihatku. “Inikan udah malam, belum bel apanya?” dia
meletakan punggung tangannya di keningku.
“Iya Ja,
ini udah malam. Kalo enggak salah, Kamu tadi kesini tuh abis isa.” Ujar Asri, “Dan
lagi, semua siswa tadi dipulangin pas tadi kebakaran. Temen kamu juga, mereka
pulang pas pemadam kebakaran dating.”
“Hah…”
aku terkejut, “Apa bener, padahal tadi aku ngobrol sama guru di UKS. Suer… aku
ngobrol sama dia. Lagian pas aku lari ke sini, aku papasan sama beberapa siswa
di koridor bawah.”
“Masah
sih Ja?” Asri meragukan keteranganku.
“Serius
aku enggak bohong, aku ngeliat mereka.” Kataku pada Asri, “Dan mereka masih ada
di sekolah!”
Tia
tiba-tiba tersenyum.
“Asri,
yang Novi lihat itu bukan manusia.” Katanya, “Kamu ngobrol sama guru di UKS,
itu bener. Tapi kamu papasan sama siswa di koridor, itu…” Tia menghentikan
kata-katanya.
“Apa Tia,
jangan bikin aku takut deh…”
“Hantu!”
jawabnya.
Espresi wajahku
langsung berubah, tubuhku tiba-tiba saja gemetar. Aku takut mendengar ucapan
Tia, badanku merinding.
“Aku
bercanda,” kata Tia. “Haha… Sri liat, mukanya itu loh…”
“Ih… Tia,”
Aku menghentikan makanku. “Aku takut tahu…” kuacak-acak rambut Tia dengan
tanganku.
“Ya, ya…
ampun, ampun. Aw… aw…” Tia memegang tanganku, “Aku kan cuma bercanda.”
“Euuhhh…
aku takut tahu.”
“Iya deh
maaf, maaf!” Tia melepaskan tanganku kemudian melanjutkan makannya.
Aku pun
begitu, setelah Tia melepas tanganku aku duduk kembali.
Hanya Asri
yang tampaknya tidak terpengaruh, dia dengan tenang menghabiskan makanannya
tanpa merasa terganggu dengan aktivitas kami. Berbeda dengan Asri, Tia sesekali
melihatku kemudian tertawa kecil, mungkin lucu kali melihat aku ketakutan. Tia
nyebelin…
Tapi biarpun
begitu, aku bahagia mereka selamat dari kebakaran itu. Semua kejadian yang
kualami tadi biarlah menjadi misteri, yang terpenting sekarang semua temanku
selamat. Biarpun mereka sudah pulang, selama ada Asri dan Tia aku tidak merasa
sendirian.