Rabu, 24 Desember 2014

Lari


Setelah perempuan itu pergi perasaanku masih tidak bisa tenang, aku masih memikirkan apa maksud dari semua ini. Kenapa aku bisa ditemukan di depan kelas yang terbakar, bukankah waktu itu aku pingsan di koridor MIA Lima. Dan siapa orang-orang yang berbaris di lorong itu, kenapa mereka menghilang.
Sebenarnya apa arti semua ini, kepalaku semakin pusing. Setiap kali mempertanyakan hal itu, tiba-tiba saja kepalaku menjadi sakit. Aku mengubah posisi tidurku, dari semula terlentang menghadap langit-langit kini menghadap ke tembok.
Di depanku ada sebuah meja yang menempel pada dinding, meja itu terletak di sebelah kursi tempat perempuan tadi duduk. Di atasnya ada segelas air putih dan sekeranjang buah-buahan, dari gelas itu aku bisa melihat bayanganku yang sedang terbaring di ranjang.
“Itu… Air…” aku memandang gelas tersebut. “Air… Air… Air…” tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Aku langsung turun dari ranjang, kemudian kubuka pintu lalu aku berlari meninggalkan tempat itu.
“Asri,… Asri, dia masih ada di kelas.” Air mataku menetes mengingat Asri yang masih ada di kelasku, tak terbayang olehku bagaimana keadaannya sekarang. Dia dan Tia tidak ikut keluar saat aku dan teman-temanku berdesakan, dan aku pun tidak melihatnya saat semua siswa dievakuasi menuju lapangan.
Apakah dia masih ada di kelas, apakah dia masih hidup. Aku berlari sekuat tenaga menuju kelasku, tak kuhiraukan semua orang yang menyapaku sepanjang lorong sekolah. Yang kupikirkan saat ini adalah Asri, apakah dia selamat atau…
TIDAK…!

Upper Cloud

Sesampainya di depan kelas, kusaksikan bangunan yang telah hitam bekas diterkam si jago merah. Tak dapat kupercaya ini adalah kelasku, keadaannya begitu menyedihkan. Padahal, dulu kelasku ini adalah kelas idaman.
Letaknnya yang sangat strategis berada di puncak sekolah, menjadikannya kelas yang paling didambakan. Dari sini bisa terlihat fanorama kota kembang yang indah, dikelilingi oleh gunung-gunung yang hijau dan menjulang. Dan kelasku ini merupakan pelarian semua siswa, mereka yang memiliki permasalahan biasanya kesini untuk menghibur diri.
Tak cuma itu, kadang kelasku adalah kelas termistis sesekolah. Bagaimana tidak, temanku Sherlya sering melihat sosok-sosok aneh di kelasku ini. Bagiku kelas ini menyimpan banyak kesan, dari yang memilukan sampai yang paling membahagiakan semua kualami bersama teman-temanku disini.
Namun sekarang semua tinggal kenangan, api telah melenyapkan semuanya. Kelasku yang dulu ceria dan penuh warna, kini kelam dan hitam. Tak nampak lagi keindahan dan keangkeran darinya, yang ada sekarang adalah iba dan kasihan.
Namun, aku merasakan sesuatu yang janggal. Bangunan MIA Empat yang berada di samping kelasku tampak lebih parah, bangunannya tak lagi berdiri. Berbeda dengan kelasku, ruangan itu hanya tinggal puing-puing dan tak berbentuk lagi. Tapi kelasku masih kokoh, hanya warnanya saja yang berubah jadi hitam.
Dia masih tegak berdiri walaupun api besar melahapnya hingga gosong, dindingnya masih kokoh dan tiang-tiangnya utuh. Apa yang sebenarnya terjadi, perlahan aku mendekatinya. Kuintip situasi di dalam lewat jendela, aku terkejut.
“Ini enggak mungkin,” aku menggelengkan kepala. “Tirainya masih utuh, dia tidak terbakar.” Aku berlari menuju pintu, “Ini juga, pintunya enggak hancur. Bagaimana bisa?”
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam kelas.
“Apa…” aku terkejut, “Ini mustahil, semua kursi dan meja yang ada dikelas ini tidak terbakar. Bagaimana bisa?”
“Hey!” sebuah suara mengagetkanku, “Kamu enggak pulang Ja?” itu suara Asri. “Ini udah malem, kamu ngapain disini?”
Aku berbalik, Asri dan Tia masih ada di dalam kelas. Di hadapan mereka sebuah api unggun sedang berkobar, di atasnya seekor ikan sedang dipanggang bersama beberapa batang bambu.
Air mataku langsung keluar, aku berlari menghampiri mereka.
“Asri…” aku memeluk Asri yang sedang memegang seekor ikan ditangannya.
“Kamu kenapa Ja?” dia tampak kaget dengan sikapku itu. Namun aku tak peduli, mengetahui Asri masih hidup perasaanku menjadi sangat bahagia. “Hey, hey lepasin… aku enggak bisa nafas, Ti tolongin…”
“Tia,” aku berbalik. “Aaa…” kupeluk Tia dengan erat.
“Ohok… ohok… sebenarnya kamu itu kenapa sih Ja?”
“Dia ini seneng karena kita masih hidup, benerkan?”
Memang benar apa yang dikatakan Tia, aku bahagia mereka masih hidup. “Iya!”

Upper Cloud

“Nah akhirnya mateng juga,” Tia mengambil semua ikan dan bambu dari api unggun. “Novi, Asri sini!”
“Ja ayo!” Asri menarik tanganku agar menghampiri Tia.
“Ini buat Asri, ini ikannya dan ini nasinya!” dia memberi Asri sebatang bambu dan seekor ikan, “Nah ini buat Novi!” dan dia juga memberiku benda yang sama.
“Ini ikannya, tapi mana nasinya?” tanyaku pada Tia.
Dia tersenyum.
“Sini!” Asri mengambil bambu yang diberikan Tia padaku, dia membekukan air untuk membuat pisau. “Nasinya tu disini…” Dia membelah bambu itu, “Nih!” dia mengembalikannya padaku.
Nasinya ternyata ada di dalam bambu, aku tak mengira bahwa Tia bisa membuat makanan seperti ini. Ini menakjupkan, tak kusangka mereka bisa selamat dari kebakaran tadi. Kemudian mereka memasak menggunakan sisa dari kebakaran itu, ini luar bisa.
Kami makan bersama, kekagumanku pada mereka makin bertambah. Tak hanya membantuku dan teman-temanku, mereka juga menjaga bangunan kelasku agar selamat dari kebakaran. Mereka ini sangat hebat, kuakui itu.
“Ja, kamu enggak pulang?” Asri bertanya.
“Inikan belum bel,” jawabku sambil mengunyah. “Lagian kan kita mau nangkep si kawe…”
“Kamu enggak salah,” Tia melihatku. “Inikan udah malam, belum bel apanya?” dia meletakan punggung tangannya di keningku.
“Iya Ja, ini udah malam. Kalo enggak salah, Kamu tadi kesini tuh abis isa.” Ujar Asri, “Dan lagi, semua siswa tadi dipulangin pas tadi kebakaran. Temen kamu juga, mereka pulang pas pemadam kebakaran dating.”
“Hah…” aku terkejut, “Apa bener, padahal tadi aku ngobrol sama guru di UKS. Suer… aku ngobrol sama dia. Lagian pas aku lari ke sini, aku papasan sama beberapa siswa di koridor bawah.”
“Masah sih Ja?” Asri meragukan keteranganku.
“Serius aku enggak bohong, aku ngeliat mereka.” Kataku pada Asri, “Dan mereka masih ada di sekolah!”
Tia tiba-tiba tersenyum.
“Asri, yang Novi lihat itu bukan manusia.” Katanya, “Kamu ngobrol sama guru di UKS, itu bener. Tapi kamu papasan sama siswa di koridor, itu…” Tia menghentikan kata-katanya.
“Apa Tia, jangan bikin aku takut deh…”
“Hantu!” jawabnya.
Espresi wajahku langsung berubah, tubuhku tiba-tiba saja gemetar. Aku takut mendengar ucapan Tia, badanku merinding.
“Aku bercanda,” kata Tia. “Haha… Sri liat, mukanya itu loh…”
“Ih… Tia,” Aku menghentikan makanku. “Aku takut tahu…” kuacak-acak rambut Tia dengan tanganku.
“Ya, ya… ampun, ampun. Aw… aw…” Tia memegang tanganku, “Aku kan cuma bercanda.”
“Euuhhh… aku takut tahu.”
“Iya deh maaf, maaf!” Tia melepaskan tanganku kemudian melanjutkan makannya.
Aku pun begitu, setelah Tia melepas tanganku aku duduk kembali.
Hanya Asri yang tampaknya tidak terpengaruh, dia dengan tenang menghabiskan makanannya tanpa merasa terganggu dengan aktivitas kami. Berbeda dengan Asri, Tia sesekali melihatku kemudian tertawa kecil, mungkin lucu kali melihat aku ketakutan. Tia nyebelin…
Tapi biarpun begitu, aku bahagia mereka selamat dari kebakaran itu. Semua kejadian yang kualami tadi biarlah menjadi misteri, yang terpenting sekarang semua temanku selamat. Biarpun mereka sudah pulang, selama ada Asri dan Tia aku tidak merasa sendirian.

Selasa, 23 Desember 2014

Lalap


“Kebakaran… kebakaran…”
Teriakan dari luar sontak membuat semua penghuni kelasku berhamburan, pintu yang tertutup rapat kini terbuka lebar. Tak mampu menahan gelombang desakan teman-temanku yang berbobot luar biasa, aku tak ketinggalan. Badanku terselip diantara aliran padat tubuh-tubuh yang saling menekan, saling dorong dan menyeruak keluar.
Saat kami semua keluar dari ruangan, anak-anak kelas lain sudah berbaris hendak menyiramkan air ke kelas kami. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi langkah kaki dan teriakan teman-temanku membuat tubuhku bergerak sendiri. Seakan terbawa oleh rasa panik dan takut teman-temanku, aku mengikuti mereka menjauhi kelas.
 Satu demi satu ember ditumpahkan, dan air terus disiramkan menghujani atap kelasku yang terbakar. Entah apa penyebabnya, aku tak tahu. Sejak kapan kelasku terbakar, itu pun aku tak tahu.
Kami sedang menonton film, dan tak ada indikasi kebakaran waktu itu. Mungkin kalau anak-anak kelas lain tidak berteriak, aku dan teman-temanku tidak akan tahu bahwa kelas kami terbakar. Jangankan bau asap, bau kentutpun tidak tercium waktu itu.
Awas…!
Api makin membesar, sekarang bagian atas kelasku telah habis dilahap si jago merah. Kini kobarannya makin meluas, kelas MIA Empat yang ada di samping kelasku mulai tersentuh jilatannya.
Takut menelan korban jiwa, Guru-guru mengevakuasi para siswa ke lapangan. Semua yang berusaha memadamkan api kini menarik diri, api terlalu besar untuk dilawan. Dua kelas itu harus direlakan menjadi santapan si jago merah, dan aku hanya bisa menangis menyaksikan kejadian ini.
Panasnya kobaran api masih mampu menyentuh tubuhku di koridor MIA Lima, padahal tempat ini bisa dibilang aman dari jangkauan si jago merah. Di depan mataku sendiri, kobaran api menghanguskan dua kelas yang bersebelahan. Jika api mampu menjangkau toilet atas, maka sudah pasti tempatku berada saat ini adalah incaran selanjutnya.
Aku tak sanggup lagi melihatnya, ingin rasanya aku berteriak. Namun tubuhku tak bisa bergerak, aku hanya bisa menitikan air mata menyaksikan semua ini. Serasa ajalku sudah tiba, api berkobar menari-nari menghanguskan apapun yang disentuhnya.
Tak pernah terbayang olehku sebelumnya, jika kami terlambat keluar waktu itu. Mungkin tubuhku sudah menjadi abu, menyatu bersama bunga api yang diterbangkan ke udara.
Panasnya api makin terasa, dadaku semakin sesak. Dari bawah tangga aku menyaksikannya, dua kelas itu hangus dan melebur menjadi abu. Aku tak tahan lagi, penglihatanku mulai buram. Kepalaku menjadi pening, pandanganku menghitam dan… dan…
Upper Cloud
Perlahan kesadaranku kembali, pendengaranku mulai menangkap sesuatu. Penglihatanku sedikit demi sedikit menjadi jelas, aku dimana.
Tubuhku terbaring di atas sebuah ranjang, yang pertama kali kulihat adalah lukisan malaikat kecil yang tergambar di langit-langit. Sayapnya putih seperti merpati, rambut mereka ikal berwarna kecoklatan. Dengan selendang yang menutupi sebagian tubuhnya serta busur yang ditarik dengan anak panah, mereka tersenyum lembut padaku.
“Tempat apa ini, apakah ini surga?” aku menyandarkan punggungku pada bantal. Sebuah lemari besar berdiri di sudut ruangan, dan di sampingnya (hadapanku) sebuah jendela tinggi menampakan keadaan diluar. Dari sana aku dapat melihat lorong panjang yang dipenuhi banyak orang, mereka berbaris di sepanjang lorong tersebut dengan mengenakan seragam tentara.
Brakkk…
Pintu ruangan terbuka, dan seketika perhatianku teralihkan.
“Novi, kamu enggak kenapa-napa sayang?” seorang wanita menghampiriku, dilihat dari pakaiannya dia adalah seorang PNS. “Kamu enggak apa-apa kan nak?” tanyanya dengan cemas.
Aku tersenyum.
“Enggak kok bu, cuma pusing sedikit…”
“Oh… syukurlah sayang, tadi kamu pingsan di depan MIA Lima.” Wanita itu memeluk tubuhku, “Alhamdulillah kamu baik-baik aja, makasih ya Allah…” dia mencium keningku.
Aku kaget, siapa sebenarnya perempuan ini. Kenapa dia begitu menghawatirkanku, dan sebenarnya tempat apa ini.
“Dengar sayang,” dia menatapku. “Tadi di MIA Lima, kamu terrekam kamera sedang menaiki tangga ke MIA Empat. Dan kamu tahu sayang, waktu itu tuh panasnya WAW banget!” ujarnya, “Ibu sama guru-guru yang lain susah buat nyelamatin kamu, sebenarnya apa yang kamu lakukan?”
Jadi, perempuan ini adalah guruku. Tapi apa maksud dari ucapannya, kenapa dia bilang aku berjalan menaiki tangga menuju MIA Empat. Bukankah MIA Empat waktu itu sedang terbakar hebat, dan apa pula maksud dari pertanyaannya.
“Hey… kenapa melamun?” dia memegang tanganku, “Kamu udah sadar kan sayang, udah enggak pingsan lagi?”
“Enggak kok bu, cuma… ini dimana?”
“Ini di UKS say, kamu dibawa kesini sama pemadam kebakaran. Mereka nemuin kamu di depan kelas dan dikelilingi dengan kobaran api, kata mereka kamu sedang berdiri waktu itu.”
“Jadi, Novi waktu itu…” aku semakin tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi.
“Iya, kamu naik tangga dan berhenti di depan kelas kamu. Apa yang kamu lakukan sayang?”
“Enggak tahu bu, Novi enggak inget…” aku menggelengkan kepala.
Dia merangkulku, “Enggak apa-apa sayang, yang penting sekarang kamu baik-baik aja. Kamu udah mendingan kan?”
Air mataku menetes.
“Ibu harap kejadian ini bisa jadi pelajaran buat kita, semoga kedepannya kejadian seperti ini tidak terulang kembali.”
“Bu…”
Dia mengambil jarak. “Iya nak…”
“Itu siapa?” tanganku menunjuk keluar jendela. Tapi, mereka kemana. Kemana tentara yang berbaris di sepanjang koridor tadi, kenapa mereka menghilang.
“Apa sayang?” dia menoleh, “Enggak ada siapa-siapa…”
“Enggak kok bu, enggak jadi…”
“Ya udah, mungkin kamu butuh istirahat.” Dia tersenyum, lalu mengelus keningku dengan perlahan. “Ibu keluar dulu ya.”
Aku mengangguk, kemudian menurunkan badanku agar dapat terbaring di ranjang. Dia berdiri kemudian berjalan menuju pintu, “Istirahat ya…” ujarnya sebelum menutup pintu.
Aku tersenyum.

Sabtu, 20 Desember 2014

Bakar


Sekarang kami telah menangkap si kawe, dia terikat oleh seutas tali yang melilit tubuhnya. Mulutnya dibungkam dengan sebuah lakban, dan matanya ditutup menggunakan sapu tangan.
Kasian juga sih, tapi mengingat Yauri dan Ikbal yang dibuat tak berdaya karena harus mengejarnya rasa simpatiku jadi hilang. Dia sekarang menjadi tawanan kami, dan Asri juga tak berbuat apa-apa. Dia hanya tersenyum melihat si kawe meronta-ronta mencoba melepaskan diri, tak Nampak rasa iba atau kwatir pada dirinya.
Yang menjadi pikiranku saat ini adalah bagaimana Aina melakukannya, bagaimana dia bisa menangkap si kawe dengan mudah. Aku, Yauri dan Ikbal saja kewalahan mengejarnya. Tapi dia tidak, dengan mudah Aina mengikatnya seperti ini.
“Aina,” aku mendekatinya. “Tadi kamu ngapain si kawe, kenapa bisa dia diikat kayak hini?” mataku menatapnya, “Aku, Yauri sama Ikbal aja enggak bisa nangkep dia. Tapi kamu kayaknya gampang banget, kamu ngapain?”
“Oh itu,” dia menaruh HP-nya. “Tadi aku Cuma ngelemparin tali kepang sama si kawe.”
“Tali kepang,” aku melihat Yauri dan Ikbal yang masih kelelahan, “Tali kepang siapa?”
 “Iya tali kepang, karet jepang itu loh …nih yang kayak gini… aku tadi Cuma ngelemparin ini sama si kawe. Dan dia langsung keiket sendiri, jadi tadi aku enggak ngapa-ngapain aslinya.”
“Dari mana kamu tahu soal tali kepang ini?” Aku menjadi penasaran.
“Tuh… si Asri yang ngasih tahu, dia katanya kasian liat kalian kejar-kejaran.”
Benarkah apa yang aku dengar ini, Asri yang selama ini menjadi buruan kami malah membantu kami. Aina kembali larut dalam HP-nya, dia mulai memfokuskan diri pada setiap pesan yang masuk ke ponselnya.
Aku melihat pada Asri, namun… “Astaga, Asri!”
Aku berbalik, kutemukan Asri sedang bersama Yauri dan Ikbal. Seperti yang dia lakukan pada Hasan, tangannya yang bercahaya dia tempelkan pada dada mereka. Dan perlahan espresi kedua temanku itu berubah, mereka menjadi lebih segar.
Apa sebenarnya yang Asri lakukan, kenapa dia membantu kami. Apa tujuannya, apa dia benar-benar tulus atau hanya ingin menarik simpati kami.
“Ja, kamu enggak apa-apa kan?” dia bertanya padaku. “Sini deh, kayaknya kamu kecapek-an. Sini biar aku periksa, enggak usah takut. Ikbal aja enggak apa-apa…” dia menawarkan diri untuk memulihkanku, tapi kenapa. “Sini!”
“Enggak ah, aku enggak apa-apa kok.” Kataku padanya, “Aku cuma lemes aja abis lari, bentar lagi juga mendingan. Makasih…” kemudian aku duduk di dekat Aina.
“Oh, ya udah kalo gitu… tapi inget ya, kalo kamu ngerasa ada sesuatu yang enggak beres bilang aku ya.” Dia tersenyum, “Eh iya, itu bukan si kawe.” Sambungnya, “Dia Tiawidi Putri Utari, pemilik mutiara pasir. Sama kayak aku, cuma kalo aku mutiara air.” Dia menjelaskan, “Kasian kalo kalian harus ngejar-ngejar dia terus, lagian dia bukan yang kalian cari.”
“Hah,” Yauri tercengang. “Jadi ini bukan si kawe?”
“Heeh… kalo enggak percaya, kamu pukul aja dia pake lidi. Dia bakal berubah jadi pasir, pukul aja kalo emang gak percaya!”
Aku mengambil lidi lalu mengarahkannya pada si kawe, ragu-ragu aku mendekatinya. Aku tidak bisa membayangkan kejadian berikutnya yang akan terjadi jika aku memukulnya, tapi kata-kata Asri membuatku penasaran. Kutempelkan ujung lidi yang kupegang pada tubuh si kawe yang masih terikat, dan tiba-tiba tali ikatannya lepas.
Aku mundur beberapa langkah ke belakang, aku takut dia tiba-tiba menyerangku. Dan seperti yang Asri katakana, tubuh si kawe perlahan berubah menjadi pasir. Dan setelah ikatannya lepas, sesuatu keluar dari gundukan pasir itu.
Seorang wanita, “Ini…” dia melihat sekeliling.
“Siapa kamu?” tanyaku sembari mengacungkan lidi.
“Aku?” dia tampak bingung. “Oh aku,” dia mengulang kalimatnya “Tia” kemudian dia tersenyum.
“Kenapa kamu pake tubuh itu?” Yauri bertanya padanya, “Terus dari mana kamu?”
“Aku, aku enggak tahu.” Pasir disekelilingnya mulai bergerak, “Aku Tia, dan aku enggak tahu dari mana aku berasal.” Pasir yang bergerak itu membentuk sebuah Kristal, sangat indah dan berkilau. Mirip dengan milik Asri, “Kakak…” dia mengambil Kristal tersebut lalu berdiri.
“Aku Tia!” nadanya mulai tinggi, “Aku disini buat ngejagain kakak, aku enggak bakal biarin kalian seenaknya.” Dia menggenggam Kristal itu dengan tangan kanan, lalu dia menyembunyikannya di belakang punggungnya. Tangan kirinya dia simpan di depan dada dan kakinya membuka sebuah kuda-kuda, “Ayo maju!”
“Mereka bukan musuh Ti, mereka sejalan sama kita.” Asri memberi tahu, “Mereka sama-sama nyari murid perguruan karang setra, mereka temen kita. Biarpun mereka udah nangkep kita, tapi mereka bukan musuh.” Asri menjelaskan.
Tia menutup kembali kuda-kudanya, dia berjalan ke arahku. “Siniin lidi itu!” Dia merampas lidi dari tanganku, “Barang kayak gini bisa nyakitin orang, jangan sembarangan make benda ini!”
Aku terkejut, dia menyentuh batang lidi lagi dan tak ada reaksi sama sekali. Seperti yang kupikirkan, baik Asri maupun Tia hanya bereaksi satu kali dengan lidi dan selanjutnya mereka kebal. Tidak seperti yang Yauri katakan sebelumnya, bahwa mereka pantang terkena lidi dua kali. Jika mereka menyentuh lidi dua kali mereka akan mati, tapi kenyataannya lain.
Itu berarti, si kawe juga sama. Dia hanya mempan pake lidi satu kali, sisanya kami mati.
“Hei!” Tia mengagetkanku, “Aku tahu yang kamu pikirkan, lihat mereka.” Semua orang memandangku, mereka memperhatikanku dengan seksama. “Semuanya mencemaskan kamu, lihat mereka. Jika kamu ragu, apa yang kalian lakukan selama ini tidak ada artinya.”
“Ingat kita ini sama, baik aku atau Asri tidak butuh alasan buat pake tubuh orang lain. Satu-satunya tujuan kami adalah menangkap murid karang setra, dan kami tidak peduli bagaimanapun caranya.” Dia menatapku, “Begitu pula kalian, yang kalian cari adalah orang yang mengajari kalian. Sekarang dia menghilang dan yang tersisa adalah si kawe, buruan kita sama. Si kawe yang kalian buru itu, adalah buruan kami juga.”
Aku termenung, namun tangan Tia menegakan kepalaku agar terus menatapnya.
“Tujuan kita sama, hanya bedanya aku dan Asri dan dan beberapa orang lainnya datang dari tempat yang berbeda. Kalian adalah manusia, kami pun begitu. Kalian punya nyawa, kami juga sama.” Matanya berbinar, “Hanya saja kami punya kekuatan dan kalian tidak, itu yang membedakan kita. Tapi kalian punya hati dan pikiran yang melebihi kami, jika kami senang berperang dan bertarung. Kalian senang dengan perdamaian, itu saja yang berbeda.”
“Hakikatnya kita semua sama,” teman-temanku tak ada yang bersuara. “Kita diciptakan untuk sebuah keyakinan, mengabdi pada tuhan dan meluruskan kehidupan. Jangan kamu ragu, tak usah kamu pikirkan kami. Kenapa kami membantu atau apa yang menjadi kelemahan kami, yang jelas disini kita satu…”
Dia benar, aku tak perlu memikirkan mereka. Aku tak perlu takut dengan si kawe, bukankah sudah biasa jika kalah untuk berjuang. Aku tak perlu memikirkan bagaimana caranya menghadapi si kawe, dan aku tak perlu juga merisaukan Tia dan Asri. Mereka membantu itu kemauan mereka, mereka jadi lawan pun itu bukan masalah.
Sudah menjadi kesepakatan bahwa kami akan terus berjuang, menemukan si akang dan mengembalikan si kawe. Apapun yang akan terjadi, terjadilah.
“Ya, aku ngerti.”
“Bagus…” Tia bangkit, “Biarkan kami membantu, aku dan Asri juga mencari orang yang sama dengan yang kalian.” Ujarnya pada semua, “Kita bekerja sama, aku tidak sendiri. Selain Asri, ada sepuluh orang lagi yang masih harus kalian temukan. Mereka menggunakan tubuh yang sama seperti yang kami gunakan saat kalian menangkap kami, tubuh orang yang kalian panggil akang itu.”
“Kalo gitu, gimana cara kita ngebedain si kawe sama temen kalian. Bukannya si kawe juga pake tubuh itu?” Hasan bertanya.
“Itu biar kami yang urus, kalian cuma nyari dimana posisi mereka aja. Masalah dia kawe atau bukan, Aku dan Asri kami yang tentukan.” Matanya melihat pada Asri.
Upper Cloud
Waktu menunjukkan pukul sebelas, poras di sekolah masih berlanjut. Aku dan teman-temanku ditambah Asri dan Tia sekarang berada di kelas. Kami memutuskan menunggu sekolah sepi untuk bergerak, suasan ramai hanya akan menarik banyak perhatian. Dan semua itu terlalu berbahaya untuk Asri dan Tia, sepeti yang terjadi saat aku mengejar mereka.
Kami menjadi pusat perhatian, semua siswa melihat kami yang sedang berlari. Dan itu semua cukup membuat banyak keributan, kami tak ingin itu. Makanya kami memilih untuk menunggu bel pulang untuk melanjutkan rencana, lagi pula Hasan dan Yauri harus ikut dalam poras. Mereka adalah MPK dan OSIS, jadi mereka harus terjun untuk mengurusi kegiatan.
Asri dan Tia tidak terlalu aktif, mereka memilih bermeditasi di belakang. Sementara aku dan teman-temanku menonton sebuah film korea, film ini cukup menyentuh. Penggambaran karakter utamanya yang harus menghadapi banyak perahara hidup membuatku menitikan air mata, pemilihan suasan dan setingnya juga mendukung.
Takut mengganggu mereka, kami memutar volume pelan-pelan. Biarpun di luar kebiasaan kami menyaksikan orang yang sedang meditasi, tapi tak ada salahnya menghargai mereka. Lagian kan enggak ada ruginya juga nonton dengan volume pelan, kita jadi melatih pendengaran.