Rabu, 24 Desember 2014

Lari


Setelah perempuan itu pergi perasaanku masih tidak bisa tenang, aku masih memikirkan apa maksud dari semua ini. Kenapa aku bisa ditemukan di depan kelas yang terbakar, bukankah waktu itu aku pingsan di koridor MIA Lima. Dan siapa orang-orang yang berbaris di lorong itu, kenapa mereka menghilang.
Sebenarnya apa arti semua ini, kepalaku semakin pusing. Setiap kali mempertanyakan hal itu, tiba-tiba saja kepalaku menjadi sakit. Aku mengubah posisi tidurku, dari semula terlentang menghadap langit-langit kini menghadap ke tembok.
Di depanku ada sebuah meja yang menempel pada dinding, meja itu terletak di sebelah kursi tempat perempuan tadi duduk. Di atasnya ada segelas air putih dan sekeranjang buah-buahan, dari gelas itu aku bisa melihat bayanganku yang sedang terbaring di ranjang.
“Itu… Air…” aku memandang gelas tersebut. “Air… Air… Air…” tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Aku langsung turun dari ranjang, kemudian kubuka pintu lalu aku berlari meninggalkan tempat itu.
“Asri,… Asri, dia masih ada di kelas.” Air mataku menetes mengingat Asri yang masih ada di kelasku, tak terbayang olehku bagaimana keadaannya sekarang. Dia dan Tia tidak ikut keluar saat aku dan teman-temanku berdesakan, dan aku pun tidak melihatnya saat semua siswa dievakuasi menuju lapangan.
Apakah dia masih ada di kelas, apakah dia masih hidup. Aku berlari sekuat tenaga menuju kelasku, tak kuhiraukan semua orang yang menyapaku sepanjang lorong sekolah. Yang kupikirkan saat ini adalah Asri, apakah dia selamat atau…
TIDAK…!

Upper Cloud

Sesampainya di depan kelas, kusaksikan bangunan yang telah hitam bekas diterkam si jago merah. Tak dapat kupercaya ini adalah kelasku, keadaannya begitu menyedihkan. Padahal, dulu kelasku ini adalah kelas idaman.
Letaknnya yang sangat strategis berada di puncak sekolah, menjadikannya kelas yang paling didambakan. Dari sini bisa terlihat fanorama kota kembang yang indah, dikelilingi oleh gunung-gunung yang hijau dan menjulang. Dan kelasku ini merupakan pelarian semua siswa, mereka yang memiliki permasalahan biasanya kesini untuk menghibur diri.
Tak cuma itu, kadang kelasku adalah kelas termistis sesekolah. Bagaimana tidak, temanku Sherlya sering melihat sosok-sosok aneh di kelasku ini. Bagiku kelas ini menyimpan banyak kesan, dari yang memilukan sampai yang paling membahagiakan semua kualami bersama teman-temanku disini.
Namun sekarang semua tinggal kenangan, api telah melenyapkan semuanya. Kelasku yang dulu ceria dan penuh warna, kini kelam dan hitam. Tak nampak lagi keindahan dan keangkeran darinya, yang ada sekarang adalah iba dan kasihan.
Namun, aku merasakan sesuatu yang janggal. Bangunan MIA Empat yang berada di samping kelasku tampak lebih parah, bangunannya tak lagi berdiri. Berbeda dengan kelasku, ruangan itu hanya tinggal puing-puing dan tak berbentuk lagi. Tapi kelasku masih kokoh, hanya warnanya saja yang berubah jadi hitam.
Dia masih tegak berdiri walaupun api besar melahapnya hingga gosong, dindingnya masih kokoh dan tiang-tiangnya utuh. Apa yang sebenarnya terjadi, perlahan aku mendekatinya. Kuintip situasi di dalam lewat jendela, aku terkejut.
“Ini enggak mungkin,” aku menggelengkan kepala. “Tirainya masih utuh, dia tidak terbakar.” Aku berlari menuju pintu, “Ini juga, pintunya enggak hancur. Bagaimana bisa?”
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam kelas.
“Apa…” aku terkejut, “Ini mustahil, semua kursi dan meja yang ada dikelas ini tidak terbakar. Bagaimana bisa?”
“Hey!” sebuah suara mengagetkanku, “Kamu enggak pulang Ja?” itu suara Asri. “Ini udah malem, kamu ngapain disini?”
Aku berbalik, Asri dan Tia masih ada di dalam kelas. Di hadapan mereka sebuah api unggun sedang berkobar, di atasnya seekor ikan sedang dipanggang bersama beberapa batang bambu.
Air mataku langsung keluar, aku berlari menghampiri mereka.
“Asri…” aku memeluk Asri yang sedang memegang seekor ikan ditangannya.
“Kamu kenapa Ja?” dia tampak kaget dengan sikapku itu. Namun aku tak peduli, mengetahui Asri masih hidup perasaanku menjadi sangat bahagia. “Hey, hey lepasin… aku enggak bisa nafas, Ti tolongin…”
“Tia,” aku berbalik. “Aaa…” kupeluk Tia dengan erat.
“Ohok… ohok… sebenarnya kamu itu kenapa sih Ja?”
“Dia ini seneng karena kita masih hidup, benerkan?”
Memang benar apa yang dikatakan Tia, aku bahagia mereka masih hidup. “Iya!”

Upper Cloud

“Nah akhirnya mateng juga,” Tia mengambil semua ikan dan bambu dari api unggun. “Novi, Asri sini!”
“Ja ayo!” Asri menarik tanganku agar menghampiri Tia.
“Ini buat Asri, ini ikannya dan ini nasinya!” dia memberi Asri sebatang bambu dan seekor ikan, “Nah ini buat Novi!” dan dia juga memberiku benda yang sama.
“Ini ikannya, tapi mana nasinya?” tanyaku pada Tia.
Dia tersenyum.
“Sini!” Asri mengambil bambu yang diberikan Tia padaku, dia membekukan air untuk membuat pisau. “Nasinya tu disini…” Dia membelah bambu itu, “Nih!” dia mengembalikannya padaku.
Nasinya ternyata ada di dalam bambu, aku tak mengira bahwa Tia bisa membuat makanan seperti ini. Ini menakjupkan, tak kusangka mereka bisa selamat dari kebakaran tadi. Kemudian mereka memasak menggunakan sisa dari kebakaran itu, ini luar bisa.
Kami makan bersama, kekagumanku pada mereka makin bertambah. Tak hanya membantuku dan teman-temanku, mereka juga menjaga bangunan kelasku agar selamat dari kebakaran. Mereka ini sangat hebat, kuakui itu.
“Ja, kamu enggak pulang?” Asri bertanya.
“Inikan belum bel,” jawabku sambil mengunyah. “Lagian kan kita mau nangkep si kawe…”
“Kamu enggak salah,” Tia melihatku. “Inikan udah malam, belum bel apanya?” dia meletakan punggung tangannya di keningku.
“Iya Ja, ini udah malam. Kalo enggak salah, Kamu tadi kesini tuh abis isa.” Ujar Asri, “Dan lagi, semua siswa tadi dipulangin pas tadi kebakaran. Temen kamu juga, mereka pulang pas pemadam kebakaran dating.”
“Hah…” aku terkejut, “Apa bener, padahal tadi aku ngobrol sama guru di UKS. Suer… aku ngobrol sama dia. Lagian pas aku lari ke sini, aku papasan sama beberapa siswa di koridor bawah.”
“Masah sih Ja?” Asri meragukan keteranganku.
“Serius aku enggak bohong, aku ngeliat mereka.” Kataku pada Asri, “Dan mereka masih ada di sekolah!”
Tia tiba-tiba tersenyum.
“Asri, yang Novi lihat itu bukan manusia.” Katanya, “Kamu ngobrol sama guru di UKS, itu bener. Tapi kamu papasan sama siswa di koridor, itu…” Tia menghentikan kata-katanya.
“Apa Tia, jangan bikin aku takut deh…”
“Hantu!” jawabnya.
Espresi wajahku langsung berubah, tubuhku tiba-tiba saja gemetar. Aku takut mendengar ucapan Tia, badanku merinding.
“Aku bercanda,” kata Tia. “Haha… Sri liat, mukanya itu loh…”
“Ih… Tia,” Aku menghentikan makanku. “Aku takut tahu…” kuacak-acak rambut Tia dengan tanganku.
“Ya, ya… ampun, ampun. Aw… aw…” Tia memegang tanganku, “Aku kan cuma bercanda.”
“Euuhhh… aku takut tahu.”
“Iya deh maaf, maaf!” Tia melepaskan tanganku kemudian melanjutkan makannya.
Aku pun begitu, setelah Tia melepas tanganku aku duduk kembali.
Hanya Asri yang tampaknya tidak terpengaruh, dia dengan tenang menghabiskan makanannya tanpa merasa terganggu dengan aktivitas kami. Berbeda dengan Asri, Tia sesekali melihatku kemudian tertawa kecil, mungkin lucu kali melihat aku ketakutan. Tia nyebelin…
Tapi biarpun begitu, aku bahagia mereka selamat dari kebakaran itu. Semua kejadian yang kualami tadi biarlah menjadi misteri, yang terpenting sekarang semua temanku selamat. Biarpun mereka sudah pulang, selama ada Asri dan Tia aku tidak merasa sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar