Sekarang
kami telah menangkap si kawe, dia terikat oleh seutas tali yang melilit
tubuhnya. Mulutnya dibungkam dengan sebuah lakban, dan matanya ditutup
menggunakan sapu tangan.
Kasian
juga sih, tapi mengingat Yauri dan Ikbal yang dibuat tak berdaya karena harus
mengejarnya rasa simpatiku jadi hilang. Dia sekarang menjadi tawanan kami, dan
Asri juga tak berbuat apa-apa. Dia hanya tersenyum melihat si kawe
meronta-ronta mencoba melepaskan diri, tak Nampak rasa iba atau kwatir pada
dirinya.
Yang
menjadi pikiranku saat ini adalah bagaimana Aina melakukannya, bagaimana dia
bisa menangkap si kawe dengan mudah. Aku, Yauri dan Ikbal saja kewalahan
mengejarnya. Tapi dia tidak, dengan mudah Aina mengikatnya seperti ini.
“Aina,”
aku mendekatinya. “Tadi kamu ngapain si kawe, kenapa bisa dia diikat kayak
hini?” mataku menatapnya, “Aku, Yauri sama Ikbal aja enggak bisa nangkep dia.
Tapi kamu kayaknya gampang banget, kamu ngapain?”
“Oh itu,”
dia menaruh HP-nya. “Tadi aku Cuma ngelemparin tali kepang sama si kawe.”
“Tali
kepang,” aku melihat Yauri dan Ikbal yang masih kelelahan, “Tali kepang siapa?”
“Iya tali kepang, karet jepang itu loh …nih
yang kayak gini… aku tadi Cuma ngelemparin ini sama si kawe. Dan dia langsung
keiket sendiri, jadi tadi aku enggak ngapa-ngapain aslinya.”
“Dari
mana kamu tahu soal tali kepang ini?” Aku menjadi penasaran.
“Tuh… si
Asri yang ngasih tahu, dia katanya kasian liat kalian kejar-kejaran.”
Benarkah
apa yang aku dengar ini, Asri yang selama ini menjadi buruan kami malah
membantu kami. Aina kembali larut dalam HP-nya, dia mulai memfokuskan diri pada
setiap pesan yang masuk ke ponselnya.
Aku
melihat pada Asri, namun… “Astaga, Asri!”
Aku
berbalik, kutemukan Asri sedang bersama Yauri dan Ikbal. Seperti yang dia
lakukan pada Hasan, tangannya yang bercahaya dia tempelkan pada dada mereka.
Dan perlahan espresi kedua temanku itu berubah, mereka menjadi lebih segar.
Apa
sebenarnya yang Asri lakukan, kenapa dia membantu kami. Apa tujuannya, apa dia
benar-benar tulus atau hanya ingin menarik simpati kami.
“Ja, kamu
enggak apa-apa kan?” dia bertanya padaku. “Sini deh, kayaknya kamu kecapek-an.
Sini biar aku periksa, enggak usah takut. Ikbal aja enggak apa-apa…” dia
menawarkan diri untuk memulihkanku, tapi kenapa. “Sini!”
“Enggak
ah, aku enggak apa-apa kok.” Kataku padanya, “Aku cuma lemes aja abis lari,
bentar lagi juga mendingan. Makasih…” kemudian aku duduk di dekat Aina.
“Oh, ya
udah kalo gitu… tapi inget ya, kalo kamu ngerasa ada sesuatu yang enggak beres
bilang aku ya.” Dia tersenyum, “Eh iya, itu bukan si kawe.” Sambungnya, “Dia
Tiawidi Putri Utari, pemilik mutiara pasir. Sama kayak aku, cuma kalo aku
mutiara air.” Dia menjelaskan, “Kasian kalo kalian harus ngejar-ngejar dia
terus, lagian dia bukan yang kalian cari.”
“Hah,”
Yauri tercengang. “Jadi ini bukan si kawe?”
“Heeh…
kalo enggak percaya, kamu pukul aja dia pake lidi. Dia bakal berubah jadi
pasir, pukul aja kalo emang gak percaya!”
Aku mengambil
lidi lalu mengarahkannya pada si kawe, ragu-ragu aku mendekatinya. Aku tidak
bisa membayangkan kejadian berikutnya yang akan terjadi jika aku memukulnya,
tapi kata-kata Asri membuatku penasaran. Kutempelkan ujung lidi yang kupegang
pada tubuh si kawe yang masih terikat, dan tiba-tiba tali ikatannya lepas.
Aku
mundur beberapa langkah ke belakang, aku takut dia tiba-tiba menyerangku. Dan
seperti yang Asri katakana, tubuh si kawe perlahan berubah menjadi pasir. Dan
setelah ikatannya lepas, sesuatu keluar dari gundukan pasir itu.
Seorang
wanita, “Ini…” dia melihat sekeliling.
“Siapa
kamu?” tanyaku sembari mengacungkan lidi.
“Aku?”
dia tampak bingung. “Oh aku,” dia mengulang kalimatnya “Tia” kemudian dia
tersenyum.
“Kenapa
kamu pake tubuh itu?” Yauri bertanya padanya, “Terus dari mana kamu?”
“Aku, aku
enggak tahu.” Pasir disekelilingnya mulai bergerak, “Aku Tia, dan aku enggak
tahu dari mana aku berasal.” Pasir yang bergerak itu membentuk sebuah Kristal,
sangat indah dan berkilau. Mirip dengan milik Asri, “Kakak…” dia mengambil
Kristal tersebut lalu berdiri.
“Aku
Tia!” nadanya mulai tinggi, “Aku disini buat ngejagain kakak, aku enggak bakal
biarin kalian seenaknya.” Dia menggenggam Kristal itu dengan tangan kanan, lalu
dia menyembunyikannya di belakang punggungnya. Tangan kirinya dia simpan di
depan dada dan kakinya membuka sebuah kuda-kuda, “Ayo maju!”
“Mereka
bukan musuh Ti, mereka sejalan sama kita.” Asri memberi tahu, “Mereka sama-sama
nyari murid perguruan karang setra, mereka temen kita. Biarpun mereka udah
nangkep kita, tapi mereka bukan musuh.” Asri menjelaskan.
Tia
menutup kembali kuda-kudanya, dia berjalan ke arahku. “Siniin lidi itu!” Dia
merampas lidi dari tanganku, “Barang kayak gini bisa nyakitin orang, jangan
sembarangan make benda ini!”
Aku
terkejut, dia menyentuh batang lidi lagi dan tak ada reaksi sama sekali. Seperti
yang kupikirkan, baik Asri maupun Tia hanya bereaksi satu kali dengan lidi dan
selanjutnya mereka kebal. Tidak seperti yang Yauri katakan sebelumnya, bahwa
mereka pantang terkena lidi dua kali. Jika mereka menyentuh lidi dua kali
mereka akan mati, tapi kenyataannya lain.
Itu berarti, si kawe juga sama. Dia hanya
mempan pake lidi satu kali, sisanya kami mati.
“Hei!”
Tia mengagetkanku, “Aku tahu yang kamu pikirkan, lihat mereka.” Semua orang
memandangku, mereka memperhatikanku dengan seksama. “Semuanya mencemaskan kamu,
lihat mereka. Jika kamu ragu, apa yang kalian lakukan selama ini tidak ada
artinya.”
“Ingat
kita ini sama, baik aku atau Asri tidak butuh alasan buat pake tubuh orang lain.
Satu-satunya tujuan kami adalah menangkap murid karang setra, dan kami tidak
peduli bagaimanapun caranya.” Dia menatapku, “Begitu pula kalian, yang kalian
cari adalah orang yang mengajari kalian. Sekarang dia menghilang dan yang
tersisa adalah si kawe, buruan kita sama. Si kawe yang kalian buru itu, adalah
buruan kami juga.”
Aku
termenung, namun tangan Tia menegakan kepalaku agar terus menatapnya.
“Tujuan
kita sama, hanya bedanya aku dan Asri dan dan beberapa orang lainnya datang
dari tempat yang berbeda. Kalian adalah manusia, kami pun begitu. Kalian punya
nyawa, kami juga sama.” Matanya berbinar, “Hanya saja kami punya kekuatan dan
kalian tidak, itu yang membedakan kita. Tapi kalian punya hati dan pikiran yang
melebihi kami, jika kami senang berperang dan bertarung. Kalian senang dengan
perdamaian, itu saja yang berbeda.”
“Hakikatnya
kita semua sama,” teman-temanku tak ada yang bersuara. “Kita diciptakan untuk
sebuah keyakinan, mengabdi pada tuhan dan meluruskan kehidupan. Jangan kamu
ragu, tak usah kamu pikirkan kami. Kenapa kami membantu atau apa yang menjadi
kelemahan kami, yang jelas disini kita satu…”
Dia
benar, aku tak perlu memikirkan mereka. Aku tak perlu takut dengan si kawe,
bukankah sudah biasa jika kalah untuk berjuang. Aku tak perlu memikirkan
bagaimana caranya menghadapi si kawe, dan aku tak perlu juga merisaukan Tia dan
Asri. Mereka membantu itu kemauan mereka, mereka jadi lawan pun itu bukan
masalah.
Sudah
menjadi kesepakatan bahwa kami akan terus berjuang, menemukan si akang dan
mengembalikan si kawe. Apapun yang akan terjadi, terjadilah.
“Ya, aku
ngerti.”
“Bagus…”
Tia bangkit, “Biarkan kami membantu, aku dan Asri juga mencari orang yang sama
dengan yang kalian.” Ujarnya pada semua, “Kita bekerja sama, aku tidak sendiri.
Selain Asri, ada sepuluh orang lagi yang masih harus kalian temukan. Mereka
menggunakan tubuh yang sama seperti yang kami gunakan saat kalian menangkap
kami, tubuh orang yang kalian panggil akang itu.”
“Kalo
gitu, gimana cara kita ngebedain si kawe sama temen kalian. Bukannya si kawe
juga pake tubuh itu?” Hasan bertanya.
“Itu biar
kami yang urus, kalian cuma nyari dimana posisi mereka aja. Masalah dia kawe
atau bukan, Aku dan Asri kami yang tentukan.” Matanya melihat pada Asri.
Upper
Cloud
Waktu
menunjukkan pukul sebelas, poras di sekolah masih berlanjut. Aku dan
teman-temanku ditambah Asri dan Tia sekarang berada di kelas. Kami memutuskan
menunggu sekolah sepi untuk bergerak, suasan ramai hanya akan menarik banyak
perhatian. Dan semua itu terlalu berbahaya untuk Asri dan Tia, sepeti yang
terjadi saat aku mengejar mereka.
Kami
menjadi pusat perhatian, semua siswa melihat kami yang sedang berlari. Dan itu
semua cukup membuat banyak keributan, kami tak ingin itu. Makanya kami memilih
untuk menunggu bel pulang untuk melanjutkan rencana, lagi pula Hasan dan Yauri
harus ikut dalam poras. Mereka adalah MPK dan OSIS, jadi mereka harus terjun
untuk mengurusi kegiatan.
Asri dan
Tia tidak terlalu aktif, mereka memilih bermeditasi di belakang. Sementara aku
dan teman-temanku menonton sebuah film korea, film ini cukup menyentuh.
Penggambaran karakter utamanya yang harus menghadapi banyak perahara hidup
membuatku menitikan air mata, pemilihan suasan dan setingnya juga mendukung.
Takut
mengganggu mereka, kami memutar volume pelan-pelan. Biarpun di luar kebiasaan
kami menyaksikan orang yang sedang meditasi, tapi tak ada salahnya menghargai
mereka. Lagian kan enggak ada ruginya juga nonton dengan volume pelan, kita
jadi melatih pendengaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar