Sabtu, 20 Desember 2014

Bakar


Sekarang kami telah menangkap si kawe, dia terikat oleh seutas tali yang melilit tubuhnya. Mulutnya dibungkam dengan sebuah lakban, dan matanya ditutup menggunakan sapu tangan.
Kasian juga sih, tapi mengingat Yauri dan Ikbal yang dibuat tak berdaya karena harus mengejarnya rasa simpatiku jadi hilang. Dia sekarang menjadi tawanan kami, dan Asri juga tak berbuat apa-apa. Dia hanya tersenyum melihat si kawe meronta-ronta mencoba melepaskan diri, tak Nampak rasa iba atau kwatir pada dirinya.
Yang menjadi pikiranku saat ini adalah bagaimana Aina melakukannya, bagaimana dia bisa menangkap si kawe dengan mudah. Aku, Yauri dan Ikbal saja kewalahan mengejarnya. Tapi dia tidak, dengan mudah Aina mengikatnya seperti ini.
“Aina,” aku mendekatinya. “Tadi kamu ngapain si kawe, kenapa bisa dia diikat kayak hini?” mataku menatapnya, “Aku, Yauri sama Ikbal aja enggak bisa nangkep dia. Tapi kamu kayaknya gampang banget, kamu ngapain?”
“Oh itu,” dia menaruh HP-nya. “Tadi aku Cuma ngelemparin tali kepang sama si kawe.”
“Tali kepang,” aku melihat Yauri dan Ikbal yang masih kelelahan, “Tali kepang siapa?”
 “Iya tali kepang, karet jepang itu loh …nih yang kayak gini… aku tadi Cuma ngelemparin ini sama si kawe. Dan dia langsung keiket sendiri, jadi tadi aku enggak ngapa-ngapain aslinya.”
“Dari mana kamu tahu soal tali kepang ini?” Aku menjadi penasaran.
“Tuh… si Asri yang ngasih tahu, dia katanya kasian liat kalian kejar-kejaran.”
Benarkah apa yang aku dengar ini, Asri yang selama ini menjadi buruan kami malah membantu kami. Aina kembali larut dalam HP-nya, dia mulai memfokuskan diri pada setiap pesan yang masuk ke ponselnya.
Aku melihat pada Asri, namun… “Astaga, Asri!”
Aku berbalik, kutemukan Asri sedang bersama Yauri dan Ikbal. Seperti yang dia lakukan pada Hasan, tangannya yang bercahaya dia tempelkan pada dada mereka. Dan perlahan espresi kedua temanku itu berubah, mereka menjadi lebih segar.
Apa sebenarnya yang Asri lakukan, kenapa dia membantu kami. Apa tujuannya, apa dia benar-benar tulus atau hanya ingin menarik simpati kami.
“Ja, kamu enggak apa-apa kan?” dia bertanya padaku. “Sini deh, kayaknya kamu kecapek-an. Sini biar aku periksa, enggak usah takut. Ikbal aja enggak apa-apa…” dia menawarkan diri untuk memulihkanku, tapi kenapa. “Sini!”
“Enggak ah, aku enggak apa-apa kok.” Kataku padanya, “Aku cuma lemes aja abis lari, bentar lagi juga mendingan. Makasih…” kemudian aku duduk di dekat Aina.
“Oh, ya udah kalo gitu… tapi inget ya, kalo kamu ngerasa ada sesuatu yang enggak beres bilang aku ya.” Dia tersenyum, “Eh iya, itu bukan si kawe.” Sambungnya, “Dia Tiawidi Putri Utari, pemilik mutiara pasir. Sama kayak aku, cuma kalo aku mutiara air.” Dia menjelaskan, “Kasian kalo kalian harus ngejar-ngejar dia terus, lagian dia bukan yang kalian cari.”
“Hah,” Yauri tercengang. “Jadi ini bukan si kawe?”
“Heeh… kalo enggak percaya, kamu pukul aja dia pake lidi. Dia bakal berubah jadi pasir, pukul aja kalo emang gak percaya!”
Aku mengambil lidi lalu mengarahkannya pada si kawe, ragu-ragu aku mendekatinya. Aku tidak bisa membayangkan kejadian berikutnya yang akan terjadi jika aku memukulnya, tapi kata-kata Asri membuatku penasaran. Kutempelkan ujung lidi yang kupegang pada tubuh si kawe yang masih terikat, dan tiba-tiba tali ikatannya lepas.
Aku mundur beberapa langkah ke belakang, aku takut dia tiba-tiba menyerangku. Dan seperti yang Asri katakana, tubuh si kawe perlahan berubah menjadi pasir. Dan setelah ikatannya lepas, sesuatu keluar dari gundukan pasir itu.
Seorang wanita, “Ini…” dia melihat sekeliling.
“Siapa kamu?” tanyaku sembari mengacungkan lidi.
“Aku?” dia tampak bingung. “Oh aku,” dia mengulang kalimatnya “Tia” kemudian dia tersenyum.
“Kenapa kamu pake tubuh itu?” Yauri bertanya padanya, “Terus dari mana kamu?”
“Aku, aku enggak tahu.” Pasir disekelilingnya mulai bergerak, “Aku Tia, dan aku enggak tahu dari mana aku berasal.” Pasir yang bergerak itu membentuk sebuah Kristal, sangat indah dan berkilau. Mirip dengan milik Asri, “Kakak…” dia mengambil Kristal tersebut lalu berdiri.
“Aku Tia!” nadanya mulai tinggi, “Aku disini buat ngejagain kakak, aku enggak bakal biarin kalian seenaknya.” Dia menggenggam Kristal itu dengan tangan kanan, lalu dia menyembunyikannya di belakang punggungnya. Tangan kirinya dia simpan di depan dada dan kakinya membuka sebuah kuda-kuda, “Ayo maju!”
“Mereka bukan musuh Ti, mereka sejalan sama kita.” Asri memberi tahu, “Mereka sama-sama nyari murid perguruan karang setra, mereka temen kita. Biarpun mereka udah nangkep kita, tapi mereka bukan musuh.” Asri menjelaskan.
Tia menutup kembali kuda-kudanya, dia berjalan ke arahku. “Siniin lidi itu!” Dia merampas lidi dari tanganku, “Barang kayak gini bisa nyakitin orang, jangan sembarangan make benda ini!”
Aku terkejut, dia menyentuh batang lidi lagi dan tak ada reaksi sama sekali. Seperti yang kupikirkan, baik Asri maupun Tia hanya bereaksi satu kali dengan lidi dan selanjutnya mereka kebal. Tidak seperti yang Yauri katakan sebelumnya, bahwa mereka pantang terkena lidi dua kali. Jika mereka menyentuh lidi dua kali mereka akan mati, tapi kenyataannya lain.
Itu berarti, si kawe juga sama. Dia hanya mempan pake lidi satu kali, sisanya kami mati.
“Hei!” Tia mengagetkanku, “Aku tahu yang kamu pikirkan, lihat mereka.” Semua orang memandangku, mereka memperhatikanku dengan seksama. “Semuanya mencemaskan kamu, lihat mereka. Jika kamu ragu, apa yang kalian lakukan selama ini tidak ada artinya.”
“Ingat kita ini sama, baik aku atau Asri tidak butuh alasan buat pake tubuh orang lain. Satu-satunya tujuan kami adalah menangkap murid karang setra, dan kami tidak peduli bagaimanapun caranya.” Dia menatapku, “Begitu pula kalian, yang kalian cari adalah orang yang mengajari kalian. Sekarang dia menghilang dan yang tersisa adalah si kawe, buruan kita sama. Si kawe yang kalian buru itu, adalah buruan kami juga.”
Aku termenung, namun tangan Tia menegakan kepalaku agar terus menatapnya.
“Tujuan kita sama, hanya bedanya aku dan Asri dan dan beberapa orang lainnya datang dari tempat yang berbeda. Kalian adalah manusia, kami pun begitu. Kalian punya nyawa, kami juga sama.” Matanya berbinar, “Hanya saja kami punya kekuatan dan kalian tidak, itu yang membedakan kita. Tapi kalian punya hati dan pikiran yang melebihi kami, jika kami senang berperang dan bertarung. Kalian senang dengan perdamaian, itu saja yang berbeda.”
“Hakikatnya kita semua sama,” teman-temanku tak ada yang bersuara. “Kita diciptakan untuk sebuah keyakinan, mengabdi pada tuhan dan meluruskan kehidupan. Jangan kamu ragu, tak usah kamu pikirkan kami. Kenapa kami membantu atau apa yang menjadi kelemahan kami, yang jelas disini kita satu…”
Dia benar, aku tak perlu memikirkan mereka. Aku tak perlu takut dengan si kawe, bukankah sudah biasa jika kalah untuk berjuang. Aku tak perlu memikirkan bagaimana caranya menghadapi si kawe, dan aku tak perlu juga merisaukan Tia dan Asri. Mereka membantu itu kemauan mereka, mereka jadi lawan pun itu bukan masalah.
Sudah menjadi kesepakatan bahwa kami akan terus berjuang, menemukan si akang dan mengembalikan si kawe. Apapun yang akan terjadi, terjadilah.
“Ya, aku ngerti.”
“Bagus…” Tia bangkit, “Biarkan kami membantu, aku dan Asri juga mencari orang yang sama dengan yang kalian.” Ujarnya pada semua, “Kita bekerja sama, aku tidak sendiri. Selain Asri, ada sepuluh orang lagi yang masih harus kalian temukan. Mereka menggunakan tubuh yang sama seperti yang kami gunakan saat kalian menangkap kami, tubuh orang yang kalian panggil akang itu.”
“Kalo gitu, gimana cara kita ngebedain si kawe sama temen kalian. Bukannya si kawe juga pake tubuh itu?” Hasan bertanya.
“Itu biar kami yang urus, kalian cuma nyari dimana posisi mereka aja. Masalah dia kawe atau bukan, Aku dan Asri kami yang tentukan.” Matanya melihat pada Asri.
Upper Cloud
Waktu menunjukkan pukul sebelas, poras di sekolah masih berlanjut. Aku dan teman-temanku ditambah Asri dan Tia sekarang berada di kelas. Kami memutuskan menunggu sekolah sepi untuk bergerak, suasan ramai hanya akan menarik banyak perhatian. Dan semua itu terlalu berbahaya untuk Asri dan Tia, sepeti yang terjadi saat aku mengejar mereka.
Kami menjadi pusat perhatian, semua siswa melihat kami yang sedang berlari. Dan itu semua cukup membuat banyak keributan, kami tak ingin itu. Makanya kami memilih untuk menunggu bel pulang untuk melanjutkan rencana, lagi pula Hasan dan Yauri harus ikut dalam poras. Mereka adalah MPK dan OSIS, jadi mereka harus terjun untuk mengurusi kegiatan.
Asri dan Tia tidak terlalu aktif, mereka memilih bermeditasi di belakang. Sementara aku dan teman-temanku menonton sebuah film korea, film ini cukup menyentuh. Penggambaran karakter utamanya yang harus menghadapi banyak perahara hidup membuatku menitikan air mata, pemilihan suasan dan setingnya juga mendukung.
Takut mengganggu mereka, kami memutar volume pelan-pelan. Biarpun di luar kebiasaan kami menyaksikan orang yang sedang meditasi, tapi tak ada salahnya menghargai mereka. Lagian kan enggak ada ruginya juga nonton dengan volume pelan, kita jadi melatih pendengaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar