“Kebakaran…
kebakaran…”
Teriakan
dari luar sontak membuat semua penghuni kelasku berhamburan, pintu yang
tertutup rapat kini terbuka lebar. Tak mampu menahan gelombang desakan
teman-temanku yang berbobot luar biasa, aku tak ketinggalan. Badanku terselip diantara
aliran padat tubuh-tubuh yang saling menekan, saling dorong dan menyeruak
keluar.
Saat kami
semua keluar dari ruangan, anak-anak kelas lain sudah berbaris hendak
menyiramkan air ke kelas kami. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi langkah
kaki dan teriakan teman-temanku membuat tubuhku bergerak sendiri. Seakan
terbawa oleh rasa panik dan takut teman-temanku, aku mengikuti mereka menjauhi
kelas.
Satu demi satu ember ditumpahkan, dan air
terus disiramkan menghujani atap kelasku yang terbakar. Entah apa penyebabnya,
aku tak tahu. Sejak kapan kelasku terbakar, itu pun aku tak tahu.
Kami
sedang menonton film, dan tak ada indikasi kebakaran waktu itu. Mungkin kalau
anak-anak kelas lain tidak berteriak, aku dan teman-temanku tidak akan tahu
bahwa kelas kami terbakar. Jangankan bau asap, bau kentutpun tidak tercium
waktu itu.
Awas…!
Api makin
membesar, sekarang bagian atas kelasku telah habis dilahap si jago merah. Kini
kobarannya makin meluas, kelas MIA Empat yang ada di samping kelasku mulai
tersentuh jilatannya.
Takut
menelan korban jiwa, Guru-guru mengevakuasi para siswa ke lapangan. Semua yang
berusaha memadamkan api kini menarik diri, api terlalu besar untuk dilawan. Dua
kelas itu harus direlakan menjadi santapan si jago merah, dan aku hanya bisa menangis
menyaksikan kejadian ini.
Panasnya
kobaran api masih mampu menyentuh tubuhku di koridor MIA Lima, padahal tempat
ini bisa dibilang aman dari jangkauan si jago merah. Di depan mataku sendiri,
kobaran api menghanguskan dua kelas yang bersebelahan. Jika api mampu
menjangkau toilet atas, maka sudah pasti tempatku berada saat ini adalah incaran
selanjutnya.
Aku tak
sanggup lagi melihatnya, ingin rasanya aku berteriak. Namun tubuhku tak bisa
bergerak, aku hanya bisa menitikan air mata menyaksikan semua ini. Serasa
ajalku sudah tiba, api berkobar menari-nari menghanguskan apapun yang
disentuhnya.
Tak
pernah terbayang olehku sebelumnya, jika kami terlambat keluar waktu itu.
Mungkin tubuhku sudah menjadi abu, menyatu bersama bunga api yang diterbangkan
ke udara.
Panasnya
api makin terasa, dadaku semakin sesak. Dari bawah tangga aku menyaksikannya,
dua kelas itu hangus dan melebur menjadi abu. Aku tak tahan lagi, penglihatanku
mulai buram. Kepalaku menjadi pening, pandanganku menghitam dan… dan…
Upper Cloud
Perlahan
kesadaranku kembali, pendengaranku mulai menangkap sesuatu. Penglihatanku
sedikit demi sedikit menjadi jelas, aku dimana.
Tubuhku
terbaring di atas sebuah ranjang, yang pertama kali kulihat adalah lukisan
malaikat kecil yang tergambar di langit-langit. Sayapnya putih seperti merpati,
rambut mereka ikal berwarna kecoklatan. Dengan selendang yang menutupi sebagian
tubuhnya serta busur yang ditarik dengan anak panah, mereka tersenyum lembut
padaku.
“Tempat
apa ini, apakah ini surga?” aku menyandarkan punggungku pada bantal. Sebuah
lemari besar berdiri di sudut ruangan, dan di sampingnya (hadapanku) sebuah
jendela tinggi menampakan keadaan diluar. Dari sana aku dapat melihat lorong
panjang yang dipenuhi banyak orang, mereka berbaris di sepanjang lorong tersebut
dengan mengenakan seragam tentara.
Brakkk…
Pintu
ruangan terbuka, dan seketika perhatianku teralihkan.
“Novi,
kamu enggak kenapa-napa sayang?” seorang wanita menghampiriku, dilihat dari
pakaiannya dia adalah seorang PNS. “Kamu enggak apa-apa kan nak?” tanyanya
dengan cemas.
Aku
tersenyum.
“Enggak
kok bu, cuma pusing sedikit…”
“Oh…
syukurlah sayang, tadi kamu pingsan di depan MIA Lima.” Wanita itu memeluk
tubuhku, “Alhamdulillah kamu baik-baik aja, makasih ya Allah…” dia mencium
keningku.
Aku kaget,
siapa sebenarnya perempuan ini. Kenapa dia begitu menghawatirkanku, dan
sebenarnya tempat apa ini.
“Dengar
sayang,” dia menatapku. “Tadi di MIA Lima, kamu terrekam kamera sedang menaiki
tangga ke MIA Empat. Dan kamu tahu sayang, waktu itu tuh panasnya WAW banget!”
ujarnya, “Ibu sama guru-guru yang lain susah buat nyelamatin kamu, sebenarnya
apa yang kamu lakukan?”
Jadi,
perempuan ini adalah guruku. Tapi apa maksud dari ucapannya, kenapa dia bilang
aku berjalan menaiki tangga menuju MIA Empat. Bukankah MIA Empat waktu itu
sedang terbakar hebat, dan apa pula maksud dari pertanyaannya.
“Hey…
kenapa melamun?” dia memegang tanganku, “Kamu udah sadar kan sayang, udah
enggak pingsan lagi?”
“Enggak
kok bu, cuma… ini dimana?”
“Ini di
UKS say, kamu dibawa kesini sama pemadam kebakaran. Mereka nemuin kamu di depan
kelas dan dikelilingi dengan kobaran api, kata mereka kamu sedang berdiri waktu
itu.”
“Jadi,
Novi waktu itu…” aku semakin tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi.
“Iya,
kamu naik tangga dan berhenti di depan kelas kamu. Apa yang kamu lakukan
sayang?”
“Enggak
tahu bu, Novi enggak inget…” aku menggelengkan kepala.
Dia
merangkulku, “Enggak apa-apa sayang, yang penting sekarang kamu baik-baik aja.
Kamu udah mendingan kan?”
Air
mataku menetes.
“Ibu
harap kejadian ini bisa jadi pelajaran buat kita, semoga kedepannya kejadian
seperti ini tidak terulang kembali.”
“Bu…”
Dia
mengambil jarak. “Iya nak…”
“Itu
siapa?” tanganku menunjuk keluar jendela. Tapi, mereka kemana. Kemana tentara
yang berbaris di sepanjang koridor tadi, kenapa mereka menghilang.
“Apa
sayang?” dia menoleh, “Enggak ada siapa-siapa…”
“Enggak
kok bu, enggak jadi…”
“Ya udah,
mungkin kamu butuh istirahat.” Dia tersenyum, lalu mengelus keningku dengan
perlahan. “Ibu keluar dulu ya.”
Aku
mengangguk, kemudian menurunkan badanku agar dapat terbaring di ranjang. Dia
berdiri kemudian berjalan menuju pintu, “Istirahat ya…” ujarnya sebelum menutup
pintu.
Aku tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar