Selasa, 23 Desember 2014

Lalap


“Kebakaran… kebakaran…”
Teriakan dari luar sontak membuat semua penghuni kelasku berhamburan, pintu yang tertutup rapat kini terbuka lebar. Tak mampu menahan gelombang desakan teman-temanku yang berbobot luar biasa, aku tak ketinggalan. Badanku terselip diantara aliran padat tubuh-tubuh yang saling menekan, saling dorong dan menyeruak keluar.
Saat kami semua keluar dari ruangan, anak-anak kelas lain sudah berbaris hendak menyiramkan air ke kelas kami. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi langkah kaki dan teriakan teman-temanku membuat tubuhku bergerak sendiri. Seakan terbawa oleh rasa panik dan takut teman-temanku, aku mengikuti mereka menjauhi kelas.
 Satu demi satu ember ditumpahkan, dan air terus disiramkan menghujani atap kelasku yang terbakar. Entah apa penyebabnya, aku tak tahu. Sejak kapan kelasku terbakar, itu pun aku tak tahu.
Kami sedang menonton film, dan tak ada indikasi kebakaran waktu itu. Mungkin kalau anak-anak kelas lain tidak berteriak, aku dan teman-temanku tidak akan tahu bahwa kelas kami terbakar. Jangankan bau asap, bau kentutpun tidak tercium waktu itu.
Awas…!
Api makin membesar, sekarang bagian atas kelasku telah habis dilahap si jago merah. Kini kobarannya makin meluas, kelas MIA Empat yang ada di samping kelasku mulai tersentuh jilatannya.
Takut menelan korban jiwa, Guru-guru mengevakuasi para siswa ke lapangan. Semua yang berusaha memadamkan api kini menarik diri, api terlalu besar untuk dilawan. Dua kelas itu harus direlakan menjadi santapan si jago merah, dan aku hanya bisa menangis menyaksikan kejadian ini.
Panasnya kobaran api masih mampu menyentuh tubuhku di koridor MIA Lima, padahal tempat ini bisa dibilang aman dari jangkauan si jago merah. Di depan mataku sendiri, kobaran api menghanguskan dua kelas yang bersebelahan. Jika api mampu menjangkau toilet atas, maka sudah pasti tempatku berada saat ini adalah incaran selanjutnya.
Aku tak sanggup lagi melihatnya, ingin rasanya aku berteriak. Namun tubuhku tak bisa bergerak, aku hanya bisa menitikan air mata menyaksikan semua ini. Serasa ajalku sudah tiba, api berkobar menari-nari menghanguskan apapun yang disentuhnya.
Tak pernah terbayang olehku sebelumnya, jika kami terlambat keluar waktu itu. Mungkin tubuhku sudah menjadi abu, menyatu bersama bunga api yang diterbangkan ke udara.
Panasnya api makin terasa, dadaku semakin sesak. Dari bawah tangga aku menyaksikannya, dua kelas itu hangus dan melebur menjadi abu. Aku tak tahan lagi, penglihatanku mulai buram. Kepalaku menjadi pening, pandanganku menghitam dan… dan…
Upper Cloud
Perlahan kesadaranku kembali, pendengaranku mulai menangkap sesuatu. Penglihatanku sedikit demi sedikit menjadi jelas, aku dimana.
Tubuhku terbaring di atas sebuah ranjang, yang pertama kali kulihat adalah lukisan malaikat kecil yang tergambar di langit-langit. Sayapnya putih seperti merpati, rambut mereka ikal berwarna kecoklatan. Dengan selendang yang menutupi sebagian tubuhnya serta busur yang ditarik dengan anak panah, mereka tersenyum lembut padaku.
“Tempat apa ini, apakah ini surga?” aku menyandarkan punggungku pada bantal. Sebuah lemari besar berdiri di sudut ruangan, dan di sampingnya (hadapanku) sebuah jendela tinggi menampakan keadaan diluar. Dari sana aku dapat melihat lorong panjang yang dipenuhi banyak orang, mereka berbaris di sepanjang lorong tersebut dengan mengenakan seragam tentara.
Brakkk…
Pintu ruangan terbuka, dan seketika perhatianku teralihkan.
“Novi, kamu enggak kenapa-napa sayang?” seorang wanita menghampiriku, dilihat dari pakaiannya dia adalah seorang PNS. “Kamu enggak apa-apa kan nak?” tanyanya dengan cemas.
Aku tersenyum.
“Enggak kok bu, cuma pusing sedikit…”
“Oh… syukurlah sayang, tadi kamu pingsan di depan MIA Lima.” Wanita itu memeluk tubuhku, “Alhamdulillah kamu baik-baik aja, makasih ya Allah…” dia mencium keningku.
Aku kaget, siapa sebenarnya perempuan ini. Kenapa dia begitu menghawatirkanku, dan sebenarnya tempat apa ini.
“Dengar sayang,” dia menatapku. “Tadi di MIA Lima, kamu terrekam kamera sedang menaiki tangga ke MIA Empat. Dan kamu tahu sayang, waktu itu tuh panasnya WAW banget!” ujarnya, “Ibu sama guru-guru yang lain susah buat nyelamatin kamu, sebenarnya apa yang kamu lakukan?”
Jadi, perempuan ini adalah guruku. Tapi apa maksud dari ucapannya, kenapa dia bilang aku berjalan menaiki tangga menuju MIA Empat. Bukankah MIA Empat waktu itu sedang terbakar hebat, dan apa pula maksud dari pertanyaannya.
“Hey… kenapa melamun?” dia memegang tanganku, “Kamu udah sadar kan sayang, udah enggak pingsan lagi?”
“Enggak kok bu, cuma… ini dimana?”
“Ini di UKS say, kamu dibawa kesini sama pemadam kebakaran. Mereka nemuin kamu di depan kelas dan dikelilingi dengan kobaran api, kata mereka kamu sedang berdiri waktu itu.”
“Jadi, Novi waktu itu…” aku semakin tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi.
“Iya, kamu naik tangga dan berhenti di depan kelas kamu. Apa yang kamu lakukan sayang?”
“Enggak tahu bu, Novi enggak inget…” aku menggelengkan kepala.
Dia merangkulku, “Enggak apa-apa sayang, yang penting sekarang kamu baik-baik aja. Kamu udah mendingan kan?”
Air mataku menetes.
“Ibu harap kejadian ini bisa jadi pelajaran buat kita, semoga kedepannya kejadian seperti ini tidak terulang kembali.”
“Bu…”
Dia mengambil jarak. “Iya nak…”
“Itu siapa?” tanganku menunjuk keluar jendela. Tapi, mereka kemana. Kemana tentara yang berbaris di sepanjang koridor tadi, kenapa mereka menghilang.
“Apa sayang?” dia menoleh, “Enggak ada siapa-siapa…”
“Enggak kok bu, enggak jadi…”
“Ya udah, mungkin kamu butuh istirahat.” Dia tersenyum, lalu mengelus keningku dengan perlahan. “Ibu keluar dulu ya.”
Aku mengangguk, kemudian menurunkan badanku agar dapat terbaring di ranjang. Dia berdiri kemudian berjalan menuju pintu, “Istirahat ya…” ujarnya sebelum menutup pintu.
Aku tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar