Rabu, 17 Desember 2014

Ikat Rambut



Aku, Yauri, ditambah Hasan yang tidak sadarkan diri. Sekarang telah berhasil menyandra si kawe, dia ternyata seorang wanita cantik. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, kulitnya halus dan parasnya begitu indah. Dengan kecantikan seperti itu, kenapa dia memakai tubuh orang lain.
Apa alasannya, kenapa dia menyembunyikan paras indah itu dan memilih hidup sebagi orang lain. Kenapa dia tidak menjadi dirinya sendiri, padahal dengan tubuh seindah itu dia akan menjadi dambaan. Sulit dipercaya, sekarang aku berhadapan langsung dengan wujud sebenarnya dari orang yang selama ini membimbingku. Dan dia adalah seorang wanita, ini benar-benar di luar nalarku yang masih hijau.
Wanita itu tersenyum.
“Jadi apa yang kalian mau sekarang?” dia bertanya, “Kalian udah tahu wujud aku yang sebenarnya, terserah sekarang maunya apa?” tak nampak rasa takut pada dirinya. Padahal beberapa detik yang lalu dia sangat panik dan begitu tertekan, tapi sekarang dia sangat tenang dan penuh percaya diri.
“Kenapa kamu pake tubuh orang lain?” Yauri mengajukan pertanyaan.
“Oh itu…” dia mengangkat tangan kirinya, “Sebenarnya aku…” dia meletakkan tangannya di dada hasan. Tangannya memancarkan sinar biru yang menyilaukan, dan perlahan-lahan tubuh hasan juga ikut bersinar.
“Hey!” Yauri mengangkat lidinya.
Wanita itu mengangkat tangan, memberikan isyarat supaya Yauri jangan memukul. “Diam, aku nggak bakal ngelukain teman kalian. Tenang aja, aku mau nyembuhin dia!”
Perlahan cahaya itu redup, tubuh hasan yang tadinya lemas tak berdaya kini mulai bergerak. “Hasan…” kataku, “Kamu apain dia?”
“Udah aku bilangkan, aku mau nyembuhin dia. Dan liat dia udah siuman, jadi jangan kamu acungin lagi lidi itu sama aku!” dia memandang Yauri. “Yah, sekarang taro lidinya…”
Yauri mengangguk, “Aku bakal taro lidi ini, tapi kamu jawab pertanyaan yang tadi. Kenapa kamu pake tubuh orang lain?”
“Oke, aku bakal jawab kok.”
Hasan sadar, dia membuka matanya. Dia melihat Asri di sampingnya dan dia tersenyum, “Hehe…” seperti orang mabuk, dia memandang wajah Asri yang begitu cantik.
“Hasan itu si kawe.” Aku berteriak pada hasan, “Kamu jangan ketipu, itu si kawe san!”
“Hah, masa?” hasan tidak peduli. “Kawe kok cantik gini, ah gak mungkin… kalian pasti boong, masa kawe perempuan diakan cowok.”
“Iya!” wanita itu menatap hasan sambil tersenyum, “Aku emang si kawe.”
Espresi hasan langsung berubah, dia langsung berdiri dan menjauhi perempuan itu. “Tuh kan, percaya?” ujarku pada Hasan, “Dia itu Kawe!”
“Sekarang jawab!” Yauri mulai tingggi.
Tapi perempuan itu tetap diam, seakan mengulur waktu dia tetap tidak mengatakan apapun mengenai pertanyaan Yauri. Dan yang aku heran saat hasan tadi meninggalkan wanita itu, lidi yang dibawa hasan menyentuh bahu perempuan itu tapi dia tidak bereaksi apapun. Bukankah si kawe takut sama lidi, dan katanya dua kali kena lidi dia bakal mati atau menghilang. Tapi ini tidak, ada sesuatu yang tak beres.
Aku hendak memberitahukan hal tersebut pada Yauri, namun kedatangan ikbal menggagalkan rencanaku. “Yau yau, itu si kawe ada di kelas. Cepetan kamu ikut, entar dia keburu lari!”
“Nov ayo!”
Aku dan Yauri berlari mengikuti ikbal, dia membawa kami ke depan kelas Delia. Memang, kelas Delia berada tepat di depan kelas si kawe. Tepatnya di atas tebing depan kelas buruan kami, disana sudah ada Aina yang dari tadi mengawasi.
“Tuh Yau dia lagi disitu!” Aina menunjuk si kawe yang sedang bicara dengan temannya, “Dia baru keluar dari kelas, pas kita mencar aku sama ikbal ngikutin dia ke kelas. Dia enggak pernah keluar dari kelas sejak masuk tadi, dia baru keluar barusan.”
“Ya udah, sekarang biar aku sama ikbal yang ngawasin dia. Kamu sama Novi balik ke kantin buat nemenin Hasan, dia lagi sama Asri.”
“Asri, siapa Asri?” Aina bertanya.
“Biar novi yang jelasin, sekarang kamu cepet balik ke kantin. Biar disini aku sama ikbal yang urus!” Yauri menegaskan.
“Ya udah, ayo Nov!” Aina menarik tanganku.
Atas perintah dari Yauri, Kami pun pergi ke kantin. Diperjalanan aku menceritakan tentang Asri pada Aina, dia tampak kaget. Namun seperti biasa, keantusiasannya hanya sebentar. Setelah mengatakan ‘Hah’ dan membuka mulutnya dia kembali seperti biasa, menjadi Aina yang dingin dan agak sedikit acuh. Tapi aku tahu, sebenarya di balik sifat dinginnya dia menyimpan perhatian yang sangat besar.
Betapa kagetnya aku ketika kami tiba di kantin, Asri dan Hasan tampak begitu dekat. Mereka mengobrol dengan begitu akrab, bahkan tak jarang tawa lepas mengalir di sela-sela percakapan mereka. Aku memandang Aina, dia tak begitu menaruh perhatian terhadap hal ini. Setibanya di sana dia langsung duduk di dekat Hasan dan Asri, seperti tidak ada yang harus dipermasalahkan dia bergabung dengan pembicaraan mereka.
Aku terdiam melihat kejadian ini dan tak terbayang olehku sebelumnya, bahwa Asri akan begitu mudah berbaur dengan sahabat-sahabatku. Aku menjadi risih sendiri, namun hal itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak, tubuhku merasakan tekanan yang luar biasa dari kejauhan. Ada hawa aneh menuju ke tempatku berada, dan Asri menyadarinya. Dia menghentikan percakapannya lalu melihat padaku, pandangannya mengisyaratkan sesuatu akan terjadi.
“Asri, apa ini?” aku memandang Asri. Hasan dan Aina berdiri, lalu tiba-tiba hembusan angin yang kuat lewat dengan cepat di belakangku. Angin itu begitu kuat sehingga menyebabkan tubuhku tertarik kedalam jalurnya, “Aaa…”
“Novi!” Asri memegang tanganku, “Bertahan, ini enggak bakal lama. Bentar lagi angin itu akan berhenti, kamu jangan takut!”
Aku mengangguk, tapi air mataku menetes dengan sendirinya. Beberapa saat tubuhku terangkat dan melayang di udara, kemudian angin itu menghilang. Tubuhku terduduk di lantai dekat WC kantin, dan tanganku masih dipegang oleh Asri. Aku tak menyangka, orang yang aku dan teman-temanku buru ternyata menolongku.
Tak lama aku terduduk, dari kejauhan kudengar suara Yauri dan Ikbal memanggilku.
“Nov, Novi!” mereka mendekat, “Ayo cepet, kejar si kawe. Dia mau lari, cepet bangun jangan duduk aja!”
Entah mengapa, mendengar teriakan mereka tubuhku berdiri dan langsung berlari. Aku tidak menghiraukan tangan Asri yang masih memegangku, aku menarik tanganku darinya dan langsung berlari mengejar angin itu.
Serasa artis idola, semua mata memandang kami yang sedang berlari. Semua mengira bahwa aku sedang main kejar-kejaran bersama teman-temanku, aku tak peduli. Aku tak punya waktu memikirkan hal itu, dan juga karena bayangan yang ada dalam angin itu perlahan menjadi semakin jelas. Sesosok tubuh kecil dengan seragam putih abu sedang berlari di hadapan kami, jelas sekali itu tubuh si akang. Tapi siapa yang ada di dalamnya, itu yang membuatku penasaran.
Lama berlari kami akhirnya menyerah, aku sudah tak sanggup untuk mengejar si kawe yang terus berlari. Aku membungkuk dan memegang lutut di koridor kelas IPS, nafasku tak beraturan karena terlalu lama berlari.
“Yau, aku udah nggak kuat.” Ujarku pada Yauri, “Kalo harus lari lagi, aku milih nyerah aja. Hah… hah… hah…” nafasku tak beraturan.
“Sama Yau.” Ikbal menimpali, “Aku juga enggak kuat kalo harus lari lagi, aku capek.” Dia duduk di lantai dan menelonjorkan kakinya.
“Ya udah, kita lihat kemana dia kabur.” Nafas yauri pun tak beraturan, “Kita bagi tugas, dua orang ngejar dia dan satu orang cegat dia, gimana?” Yauri melihat padaku dan Ikbal. “Dia ke kelas IPS, Nov kamu cegat dia dari bawah. Aku sama ikbal bakal ngejar dia, yu Bal!”
Mereka berdua pergi meninggalkanku.
“Yau!” aku berteriak, “Yauri tungguin, masa aku sendirian.”
Mereka tidak mendengar teriakanku, mereka terus saja berlari. Jujur nafasku hampir habis, dari tadi aku lari-lari terus. Capek banget, Yauri sama ikbal ninggalin lagi. Ini sungguh menjengkelkan, tapi enggak ada waktu buat ngeluh. Pilihannya cuma dua, nangkep si kawe atau ditangkep sama dia.
Dengan agak kepayahan aku menggerakan tubuhku, kuambil sebatang lidi dari samping tempat sampah dan aku berjalan menyusuri lorong kelas IPS. Baru beberapa langkah, teman-temanku sudah berteriak “Nov, Novi!” mereka menggiring si kawe menuju ke tempatku berada. Aku menjadi panik, apa yang harus aku lakukan dia datang.
Ragu-ragu aku melangkah, kuacungkan lidi di tanganku hendak memukul si kawe. Dia makin dekat, tubuhku berlari menyambut kedatangannya. Dengan rasa takut dan cemas yang begitu besar, kuayunkan lidi itu pada tubuh si kawe.
“Aaa…”
Namun sayang, lidiku hanya lewat saja di sepan wajahnya dan dia mampu menghindar. Dia loncat ke genteng jembatan kelas IPS, lalu dia melompat ke lapangan. Aku dan teman-temanku terperangah, tak kami sangka bahwa dia akan melakukan hal senekad itu. Melompat menyebrangi kelas menuju lapangan dari atas genteng, hanya orang gila yang mau melakukannya.
Dia berhasil lolos, tapi sesuatu terjadi. Kulihat Aina mendekatinya, dan dia tidak membawa lidi. Apa yang akan dia lakukan, dan kulihat kedua temanku telah terkapar di lantai. Mereka kelelahan mengejar si kawe sampai memutar kembali ke lorong IPS, sekarang kupusatkan kembali perhatian ku pada Aina.
Kulihat dia tersenyum pada si kawe, dan dia menyodorkan tangannya yang terkepal. Apa yang sebenarnya Aina lakukan, kenapa dia melakukan itu. Si kawe juga tampaknya tidak curiga, dia mendekati Aina untuk melihat apa yang digenggamnya.
Dan sesuatu terjadi, setelah Aina membuka kepalan tangannya tiba-tiba seutas tali panjang membelit tubuh si kawe. Tali itu keluar dari telapak tangan Aina, dan itu mampu menghentikan gerakan si kawe. Dia yang tadinya begitu sukar di tangkap, sekarang terlilit oleh tali yang dikeluarkan Aina.
“Yau!” aku memanggil Yauri, “Si kawe kena!”
“Apa?” dia bangun dan berjalan menghampiriku.
“Si kawe udah ketangkep,” aku menjelaskan. “Barusan Aina udah nangkep dia, dia ngiket si kawe pake tali. Tapi aku enggak tahu tali apa itu, yang penting sekarang si kawe ketangkep.” Kataku pada Yauri.
“Ya udah, Bal ayo!” Yauri membangunkan Ikbal yang masih terbaring tak berdaya, dia tempak lelah sekali. “Si kawe katanya udah ketangkep, ayo kita kesana!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar