Aku, Yauri, ditambah Hasan yang tidak
sadarkan diri. Sekarang telah berhasil menyandra si kawe, dia ternyata seorang
wanita cantik. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, kulitnya halus dan
parasnya begitu indah. Dengan kecantikan seperti itu, kenapa dia memakai tubuh
orang lain.
Apa alasannya, kenapa dia
menyembunyikan paras indah itu dan memilih hidup sebagi orang lain. Kenapa dia
tidak menjadi dirinya sendiri, padahal dengan tubuh seindah itu dia akan
menjadi dambaan. Sulit dipercaya, sekarang aku berhadapan langsung dengan wujud
sebenarnya dari orang yang selama ini membimbingku. Dan dia adalah seorang
wanita, ini benar-benar di luar nalarku yang masih hijau.
Wanita itu tersenyum.
“Jadi apa yang kalian mau sekarang?”
dia bertanya, “Kalian udah tahu wujud aku yang sebenarnya, terserah sekarang
maunya apa?” tak nampak rasa takut pada dirinya. Padahal beberapa detik yang
lalu dia sangat panik dan begitu tertekan, tapi sekarang dia sangat tenang dan
penuh percaya diri.
“Kenapa kamu pake tubuh orang lain?”
Yauri mengajukan pertanyaan.
“Oh itu…” dia mengangkat tangan
kirinya, “Sebenarnya aku…” dia meletakkan tangannya di dada hasan. Tangannya
memancarkan sinar biru yang menyilaukan, dan perlahan-lahan tubuh hasan juga
ikut bersinar.
“Hey!” Yauri mengangkat lidinya.
Wanita itu mengangkat tangan, memberikan
isyarat supaya Yauri jangan memukul. “Diam, aku nggak bakal ngelukain teman
kalian. Tenang aja, aku mau nyembuhin dia!”
Perlahan cahaya itu redup, tubuh hasan
yang tadinya lemas tak berdaya kini mulai bergerak. “Hasan…” kataku, “Kamu
apain dia?”
“Udah aku bilangkan, aku mau nyembuhin
dia. Dan liat dia udah siuman, jadi jangan kamu acungin lagi lidi itu sama
aku!” dia memandang Yauri. “Yah, sekarang taro lidinya…”
Yauri mengangguk, “Aku bakal taro lidi
ini, tapi kamu jawab pertanyaan yang tadi. Kenapa kamu pake tubuh orang lain?”
“Oke, aku
bakal jawab kok.”
Hasan
sadar, dia membuka matanya. Dia melihat Asri di sampingnya dan dia tersenyum,
“Hehe…” seperti orang mabuk, dia memandang wajah Asri yang begitu cantik.
“Hasan
itu si kawe.” Aku berteriak pada hasan, “Kamu jangan ketipu, itu si kawe san!”
“Hah,
masa?” hasan tidak peduli. “Kawe kok cantik gini, ah gak mungkin… kalian pasti
boong, masa kawe perempuan diakan cowok.”
“Iya!”
wanita itu menatap hasan sambil tersenyum, “Aku emang si kawe.”
Espresi
hasan langsung berubah, dia langsung berdiri dan menjauhi perempuan itu. “Tuh
kan, percaya?” ujarku pada Hasan, “Dia itu Kawe!”
“Sekarang
jawab!” Yauri mulai tingggi.
Tapi
perempuan itu tetap diam, seakan mengulur waktu dia tetap tidak mengatakan
apapun mengenai pertanyaan Yauri. Dan yang aku heran saat hasan tadi
meninggalkan wanita itu, lidi yang dibawa hasan menyentuh bahu perempuan itu
tapi dia tidak bereaksi apapun. Bukankah si kawe takut sama lidi, dan katanya
dua kali kena lidi dia bakal mati atau menghilang. Tapi ini tidak, ada sesuatu
yang tak beres.
Aku
hendak memberitahukan hal tersebut pada Yauri, namun kedatangan ikbal
menggagalkan rencanaku. “Yau yau, itu si kawe ada di kelas. Cepetan kamu ikut,
entar dia keburu lari!”
“Nov
ayo!”
Aku dan
Yauri berlari mengikuti ikbal, dia membawa kami ke depan kelas Delia. Memang,
kelas Delia berada tepat di depan kelas si kawe. Tepatnya di atas tebing depan
kelas buruan kami, disana sudah ada Aina yang dari tadi mengawasi.
“Tuh Yau
dia lagi disitu!” Aina menunjuk si kawe yang sedang bicara dengan temannya,
“Dia baru keluar dari kelas, pas kita mencar aku sama ikbal ngikutin dia ke
kelas. Dia enggak pernah keluar dari kelas sejak masuk tadi, dia baru keluar
barusan.”
“Ya udah,
sekarang biar aku sama ikbal yang ngawasin dia. Kamu sama Novi balik ke kantin
buat nemenin Hasan, dia lagi sama Asri.”
“Asri,
siapa Asri?” Aina bertanya.
“Biar
novi yang jelasin, sekarang kamu cepet balik ke kantin. Biar disini aku sama
ikbal yang urus!” Yauri menegaskan.
“Ya udah,
ayo Nov!” Aina menarik tanganku.
Atas
perintah dari Yauri, Kami pun pergi ke kantin. Diperjalanan aku menceritakan
tentang Asri pada Aina, dia tampak kaget. Namun seperti biasa, keantusiasannya
hanya sebentar. Setelah mengatakan ‘Hah’ dan membuka mulutnya dia kembali
seperti biasa, menjadi Aina yang dingin dan agak sedikit acuh. Tapi aku tahu,
sebenarya di balik sifat dinginnya dia menyimpan perhatian yang sangat besar.
Betapa
kagetnya aku ketika kami tiba di kantin, Asri dan Hasan tampak begitu dekat.
Mereka mengobrol dengan begitu akrab, bahkan tak jarang tawa lepas mengalir di
sela-sela percakapan mereka. Aku memandang Aina, dia tak begitu menaruh
perhatian terhadap hal ini. Setibanya di sana dia langsung duduk di dekat Hasan
dan Asri, seperti tidak ada yang harus dipermasalahkan dia bergabung dengan
pembicaraan mereka.
Aku
terdiam melihat kejadian ini dan tak terbayang olehku sebelumnya, bahwa Asri
akan begitu mudah berbaur dengan sahabat-sahabatku. Aku menjadi risih sendiri,
namun hal itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak
enak, tubuhku merasakan tekanan yang luar biasa dari kejauhan. Ada hawa aneh
menuju ke tempatku berada, dan Asri menyadarinya. Dia menghentikan
percakapannya lalu melihat padaku, pandangannya mengisyaratkan sesuatu akan
terjadi.
“Asri,
apa ini?” aku memandang Asri. Hasan dan Aina berdiri, lalu tiba-tiba hembusan
angin yang kuat lewat dengan cepat di belakangku. Angin itu begitu kuat
sehingga menyebabkan tubuhku tertarik kedalam jalurnya, “Aaa…”
“Novi!”
Asri memegang tanganku, “Bertahan, ini enggak bakal lama. Bentar lagi angin itu
akan berhenti, kamu jangan takut!”
Aku
mengangguk, tapi air mataku menetes dengan sendirinya. Beberapa saat tubuhku
terangkat dan melayang di udara, kemudian angin itu menghilang. Tubuhku
terduduk di lantai dekat WC kantin, dan tanganku masih dipegang oleh Asri. Aku
tak menyangka, orang yang aku dan teman-temanku buru ternyata menolongku.
Tak lama
aku terduduk, dari kejauhan kudengar suara Yauri dan Ikbal memanggilku.
“Nov,
Novi!” mereka mendekat, “Ayo cepet, kejar si kawe. Dia mau lari, cepet bangun
jangan duduk aja!”
Entah
mengapa, mendengar teriakan mereka tubuhku berdiri dan langsung berlari. Aku
tidak menghiraukan tangan Asri yang masih memegangku, aku menarik tanganku
darinya dan langsung berlari mengejar angin itu.
Serasa artis
idola, semua mata memandang kami yang sedang berlari. Semua mengira bahwa aku
sedang main kejar-kejaran bersama teman-temanku, aku tak peduli. Aku tak punya
waktu memikirkan hal itu, dan juga karena bayangan yang ada dalam angin itu
perlahan menjadi semakin jelas. Sesosok tubuh kecil dengan seragam putih abu
sedang berlari di hadapan kami, jelas sekali itu tubuh si akang. Tapi siapa
yang ada di dalamnya, itu yang membuatku penasaran.
Lama
berlari kami akhirnya menyerah, aku sudah tak sanggup untuk mengejar si kawe
yang terus berlari. Aku membungkuk dan memegang lutut di koridor kelas IPS,
nafasku tak beraturan karena terlalu lama berlari.
“Yau, aku
udah nggak kuat.” Ujarku pada Yauri, “Kalo harus lari lagi, aku milih nyerah
aja. Hah… hah… hah…” nafasku tak beraturan.
“Sama Yau.”
Ikbal menimpali, “Aku juga enggak kuat kalo harus lari lagi, aku capek.” Dia
duduk di lantai dan menelonjorkan kakinya.
“Ya udah,
kita lihat kemana dia kabur.” Nafas yauri pun tak beraturan, “Kita bagi tugas,
dua orang ngejar dia dan satu orang cegat dia, gimana?” Yauri melihat padaku
dan Ikbal. “Dia ke kelas IPS, Nov kamu cegat dia dari bawah. Aku sama ikbal
bakal ngejar dia, yu Bal!”
Mereka
berdua pergi meninggalkanku.
“Yau!”
aku berteriak, “Yauri tungguin, masa aku sendirian.”
Mereka
tidak mendengar teriakanku, mereka terus saja berlari. Jujur nafasku hampir
habis, dari tadi aku lari-lari terus. Capek banget, Yauri sama ikbal ninggalin
lagi. Ini sungguh menjengkelkan, tapi enggak ada waktu buat ngeluh. Pilihannya cuma
dua, nangkep si kawe atau ditangkep sama dia.
Dengan agak
kepayahan aku menggerakan tubuhku, kuambil sebatang lidi dari samping tempat
sampah dan aku berjalan menyusuri lorong kelas IPS. Baru beberapa langkah,
teman-temanku sudah berteriak “Nov, Novi!” mereka menggiring si kawe menuju ke
tempatku berada. Aku menjadi panik, apa yang harus aku lakukan dia datang.
Ragu-ragu
aku melangkah, kuacungkan lidi di tanganku hendak memukul si kawe. Dia makin
dekat, tubuhku berlari menyambut kedatangannya. Dengan rasa takut dan cemas
yang begitu besar, kuayunkan lidi itu pada tubuh si kawe.
“Aaa…”
Namun
sayang, lidiku hanya lewat saja di sepan wajahnya dan dia mampu menghindar. Dia
loncat ke genteng jembatan kelas IPS, lalu dia melompat ke lapangan. Aku dan
teman-temanku terperangah, tak kami sangka bahwa dia akan melakukan hal senekad
itu. Melompat menyebrangi kelas menuju lapangan dari atas genteng, hanya orang
gila yang mau melakukannya.
Dia
berhasil lolos, tapi sesuatu terjadi. Kulihat Aina mendekatinya, dan dia tidak
membawa lidi. Apa yang akan dia lakukan, dan kulihat kedua temanku telah terkapar
di lantai. Mereka kelelahan mengejar si kawe sampai memutar kembali ke lorong
IPS, sekarang kupusatkan kembali perhatian ku pada Aina.
Kulihat
dia tersenyum pada si kawe, dan dia menyodorkan tangannya yang terkepal. Apa
yang sebenarnya Aina lakukan, kenapa dia melakukan itu. Si kawe juga tampaknya
tidak curiga, dia mendekati Aina untuk melihat apa yang digenggamnya.
Dan
sesuatu terjadi, setelah Aina membuka kepalan tangannya tiba-tiba seutas tali
panjang membelit tubuh si kawe. Tali itu keluar dari telapak tangan Aina, dan
itu mampu menghentikan gerakan si kawe. Dia yang tadinya begitu sukar di
tangkap, sekarang terlilit oleh tali yang dikeluarkan Aina.
“Yau!”
aku memanggil Yauri, “Si kawe kena!”
“Apa?”
dia bangun dan berjalan menghampiriku.
“Si kawe
udah ketangkep,” aku menjelaskan. “Barusan Aina udah nangkep dia, dia ngiket si
kawe pake tali. Tapi aku enggak tahu tali apa itu, yang penting sekarang si
kawe ketangkep.” Kataku pada Yauri.
“Ya udah,
Bal ayo!” Yauri membangunkan Ikbal yang masih terbaring tak berdaya, dia tempak
lelah sekali. “Si kawe katanya udah ketangkep, ayo kita kesana!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar