“Akhirnya
Ja, makanannya abis juga…” Asri membereskan bambu dan daun bekas makan. “Enak
banget ya, apalagi kalo bareng-bareng.” Dia tersenyum.
“Iya,”
jawabku dengan riang.
“Sri
sekarang udah tengah malam,” Tia mengingatkan. “Kita berangkat sekarang, atau
nganterin… Dia dulu?” matanya melihat padaku.
“Ja, kamu
berani pulang sendiri enggak?” Asri bertanya.
Aku hanya
terdiam.
“Kalo
enggak kamu punya dua pilihan,” ujarnya. “Kertama kamu ikut Aku sama Tia, atau
Kamu berani nunggu disini?”
Tunggu dulu, Asri bilang nunggu disini. Di tempat
angker kayak gini, enggak salah tuh. Mending ikut aja deh, daripada aku harus
nunggu sendirian disini. Mana sepi lagi, aku enggak berani…
“Ada
pilihan lain enggak, masa Aku nunggu di tempat kayak gini. Aku enggak berani…”
pintaku mengajukan penawaran.
“Sri kita
anterin aja Novi kerumahnya, aku rasa enggak bagus juga bawa dia sama urusan
kita.” Tia melihatku, “Kalo nunggu disini, jelas enggak mungkin. Dia enggak
berani, terpaksa kita harus nganterin dia pulang.”
Aku merasa
tersinggung dengan ucapan Tia, tapi apa daya yang dikatakannya benar. Aku enggak
mungkin nunggu di tempat kayak gini sendirian, dan aku juga enggak mungkin ikut
sama mereka.
“Ya udah,
kita anterin Puja pulang.”
Aku tersenyum.
“Tapi…
nih Ja, barang punya kamu kan?”
Asri memberikan
ponselku yang tadi lupa kubawa saat keluar dari kelas, dan bukan cuma itu. Dia juga
mengembalikan semua barangku yang tertinggal saat kebakaran, tas Aina, sherlya,
Nurja, Hasan, Maul dan yauri juga ada. Barang-barang temanku juga
dikembalikannya, ini luar biasa.
“Bagaimana
kamu…”
“Itu
enggak penting,” Potong Asri. “Yang penting barang-barang kalian aman.”
“Sri
cepet!” Tia memberi isyarat, “Kalo lebih lama lagi, kita bisa kehabisan waktu. Cepetan!”
“Ya udah,
Ja barang-barang ini aku titip di rumah kamu. Kalo besok temen kamu nanyain,
jawab aja pemadam kebakaran yang ngambil. Oke...”
Aku hanya mengangguk.
“Ti… ayo!”
“Novi,
kamu naik punggung aku.” Tia berkata, “Barang-barang kamu biar Asri yang bawa!”
Hati-hati aku naik ke punggung Tia.
"Udah?"
"Iya."
Hati-hati aku naik ke punggung Tia.
"Udah?"
"Iya."
Dia langsung melompat ke udara, diikuti Asri di belakangnya membawa
barang-barangku. Kami semua bergerak menjauhi sekolah.
Sungguh
menakjupkan, Aku terbang menuju rumah dari sekolah. Ini bukan hal biasa,
kusaksikan setiap jalan yang kulewati dengan sudut pandang yang berbeda dari
biasanya.
Upper Cloud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar