Minggu, 16 November 2014

Tiga



“Ya ampun Azra, Hasbi kalian pada kemana?”
Apa mungkin kalian nyasar di bukit belakang sekolah, apa bener kalian nggak tahu jalan. Ini nggak mungkin, kan kalian yang pertama ngenalin aku sama bukit belakang. Kalian nggak mungkin nyasar, kalian udah kenal banget daerah itu.
“Ya ampun Azra, Hasbi kemana sih?”
Vriska putriku…
“Ibu…” itu suara ibu, “Ibu dimana, bu?”
Vriska tenanglah, kedua sahabatmu baik-baik saja! Mereka masih berada di bukit sana…
“Ibu, gimana ibu bisa tahu?”
Vriska itu tidak penting, sekarang cepat jemput mereka. Mereka membutuhkan bantuanmu, cepat tolong mereka!
“Tapi aku nggak tahu dimana mereka bu…”
Tenanglah, ibu akan membimbingmu menemui mereka. Sekarang pejamkan matamu Vriska…
“Iya bu, Vriska bakal tutup mata!”, kemudian aku memejamkan kedua mataku.
Sekarang, pusatkan pikiran kamu pada mereka! Biarkan angin membimbingmu, biarkan udara membawamu…
“Azra, Hasbi…” perlahan pikiranku muali melayang. Hembusan udara dan suara angin yang menerpaku perlahan memberikan gambaran, terbayang jelas dalam pikiranku tempat di mana Azra dan Hasbi berada. Sebuah tebing yang curam ada di depan mereka, kemudian terlihat seekor harimau tengah mengintai mereka dari balik semak-semak. “Azra, Hasbi jangan!”
Sepontan aku membuka keduamataku, tak kukira mereka masih disan dalam bahaya.
Vriska, Apa kamu menemukan mereka. Mereka membutuhkan bantuanmu, tolonglah mereka…
“Iya bu. Aku harus nolong mereka, harus!”
Harimau tadi membuatku cemas, pikiranku dipenuhi bayang-bayang tentang Azra dan Hasbi. Aku takut mereka kenapa-napa, aku tak ingin mereka celaka…
Lekaslah Vriska, jangan buang waktu lagi. Cepat tolong mereka!

***

“Ra, loe yakin jalannya kesini? Perasaan kita dari tadi muter-muter mulu deh.”
“Ahh… berisik deh! Aku yakin kemarin tuh kita kesini, lagian kita kan udah sering ngelewatin tempat ini. masa kita nyasar sih?”
“Tapi gue nggak yakin Ra, kita cuman mondar mandir ngelilingin tempat yang sama liat!” Hasbi menunjuk sebuah gundukan batu yang ada pinggir jalan setapak di depan mereka, “Kita ngelewatin tempat ini beberapa kali, apa loe masih nggak percaya?”
“Bentar, ini nggak mungkin…” Azra membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamya, sebuah kompas. “Ya ampun…”
“Ra kenapa?”
“Ya ampun Bi, kamu bener!” Azra menunjukan kompas yang dipegangnya pada Hasbi, jarumnya berputar tak tentu arah. “Kompasnya rusak, kita nyasar!”
“Hah… gimana donk? Masa kita harus tinggal disini…”
“Hus diem, udah deh tenang aja. Kita bakal keluar kok, mungpung masih pagi mending kita terusin aja!”
“Tapi Ra, gue nggak yakin buat ngelanjutin perjalanan kayaknya”
“Apa kamu mau diem disisni?”
Hasbi menggeleng.
“Nggak kan, kalo gitu ayo!”
“Ntar deh Ra, gue capek nih. Pingin istirahat, dari tadi kita jalan terus!”
“Ya udah! Tapi nggak lama Oke…”
Hasbi pun duduk, Azra agak mengambil jarak dengan Hasbi. Sambil istirahat, Mereka membuka tas masing-masing dan memeriksa perbekalan.
Entah mengapa sebuah syair terlantun dengan pelan, tidak seorangpun dari mereka yang menyadari lantunan tersebut. Mereka tetap focus pada kegiatan mereka masing-masing…  
Sepasang mata mengintai, menyatu dengan rerumputan. Melangkah dengan perlahan, siap menyergap dan menerkam. Meraung dalam kesunyian, melolong dari kehampaan…
“Ya ampun Ra” Hasbi kaget dan berlari menuju Azra, “Yang barusan itu apa?”
“Apa sih?”
“Barusan” Tangan Hasbi menggenggam erat bahu Azra, “Barusan Ra. Loe nggak denger?”
“Iya apa?” Azra menyibakkan rambutnya, kemudian melepas headset yang entah sejak kapan terpasang di telinganya. “Apaan?”
Hasbi mengguncang tubuh Azra.
“Ra, loe nggak denger?”
“Apaan sih?” Azra melihat sekeliling, “Nggak ada apa-apa!”
“Suara!” Hasbi terlihat makin gelisah. “Suara yang tadi!”
“Yang mana sih? Nggak ada apa-apa Bi, nggak ada apa-apa!” Azra berusaha menenangkan Hasbi, “Mungkin itu Cuma perasaan kamu aja, udah ya nggak apa-apa!” tapi…
Aarrggghhh…
Raungan keras dari balik semak mengagetkan mereka, sontak mereka berdiri dan saling berpeganagn tangan.
“Tuh kan Ra, apa gue bilang. Itu nyata, itu nyata Ra!”
“Oke deh aku percaya, kamu bener…”
Perlahan semak itu bergerak, menggetarkan keberanian kedua sahabat tersebut. Dari baliknya keluar sebuah tangan bercakar tajam, disusul oleh tangan lainya. Kemudian sepasang cahaya merah menyala tepat di antara kedua tangan bercakar itu, sepasang mata. Dia keluar, melompat dari balik semak. Menunjukan taring besar dan rahang yang kuat, diimbangi dengan tubuh kekar perkasa sang raja rimba.
***

“AAAAA…..”
Azra, Hasbi. Aku harus cepat, mereka dalam bahaya. Aku terus berlari menyusuri jalan setapak menuju bukit belakang, aku harus segera menyelamatkan Azra dan Hasbi.
“Azra, Hasbi!”
Cepatlah Vriska! Selamatkan mereka! Lari, lari bagai kilat. Kamu bisa, ayo cepat!
Tubuhku terasa sangat ringan, aku merasa seperti angin. Aku bisa berlari melewati rumput dan pohon dalam sekali terjang, aku merasa sangat luar biasa.
“Ibu, baik Vriska akan lari!” Azra, Hasbi tunggu. Dari kejauhan telah nampak dua orang gadis sedang berdiri, di depan mereka merangkak seekor hariamu besar bermata taja. “Itu, itu mereka. Azra! Hasbi!”
“Vriska, itu Vriska…” asbi hiusteris, dia mendengar teriakan periska.
“Azra, Hasbi kalian nggak apa-apa?” seketika aku sudah berada di depan mereka, kulihat Azra dan hasbi sedang berdiri. Mereka tampak tegang, seperti orang yang ketakutan.
“Vris Belakang kamu!” Hasbi mengacungkan telunjuknya ke arahku.
Saat aku berbalik.
ARRRGGGHHH…
Seekor harimau besar, tengah membuka mulutnya di depanku. Seketika nyaliku menciut, aku tak tahu harus berbuat apa. Azra dan Hasbi hanya terpaku melihatku, dan makhluk itu semakin mendekat. Pelan tapi pasti, makhluk itu bergerak ke arahku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar