Senin, 17 November 2014

Empat



Masih tentang hariamu, sekarang tubuhku serasa membeku. Aku tak bisa bergerak, ketakutan dalam diriku menggenggam erat setiap urat syarafku. Aku mendadak lemas, otot-ototku melunglai. Dadaku terasa sesak, aku seperti diimpit oleh batu besar. Hanya diam terpaku, terikat oleh rasa takut.
Vriska tenanglah, bertahanlah. Kamu kuat, kamu hebat. Jangan biarkan ketakutan dalam dirimu berkuasa, jangan kalah hanya karena raungan semata. Bangkitlah, bangkitlah Vriska!
“Ibu…” air mataku menentes, kakiku bergetar.
Jangan takut Vriska, tenanglah! Berjuanglah Vriska, kamu pasti bisa!
Ibu bener, aku nggak boleh nangis. Aku nggak boleh takut, kalo aku takut siapa yang bakal nyelametin Azra sama Hasbi. Aku harus  bangkit, Aku kuat…
“AAAAA…”
Teman-temanku kaget, mereka memejamkan mata. Harimau itu melompat hendak menerjangku, kukunya yang tajam mengarah langsung ke tubuhku. Detak jantungku jadi tak karuan, aliran darahku menjadi tak menentu. Otot-ototku menegang, semua syaraf ditubuhku gemetar. Aku merasa sudah tamat, aku tak bisa berbuat apa-apa. Azra, Hasbi maaf…
Tapi anehnya, aku melihat harimau itu sangat lambat. Aku dapat melihat gerakannya dengan sangat jelas, begitu pelan dan tidak menakutkan. waktu seperti berhenti, aku merasa ada kekuatan besar mengalir dalam tubuhku.
Kedua temanku masih menutup mata, mereka tidak berani melihat apa yang akan terjadi padaku saat harimau itu menerkam.
Tapi kekuatan yang ada dalam diriku seperti tak menerima, dia terus berontak. Tak ingin aku menyerah, tak ingin aku kalah. Saat kuku harimau itu hampir mengenaiku, tiba-tiba saja kakiku melangkah sendiri. Dia melangkah ke sampingkanan, tepat sebelah kiri si hariamu. Dan secara reflek pula, tangan kiriku meruncingkan kuku-kukunya dan menusuk harimau itu tepat di perutnya. Aku heran, tubuhku bergerak sendiri.
AARRRGGGHHH…
Harimau itu menjerit, raungannya memekakkan telinga. Dia tersungkur ketanah, darah segar mengalir dari perutnya. Tubuhnya mengejang, meronta-ronta penuh kesakitan. Tak kuasa aku menyaksikannya, tapi harus bagaimana aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kedua temanku masih disana, mereka menangis dan berpelukaan. Namun mata mereka terpejam, mereka tak mau melihat apa yang terjadi barusan. Tubuh mereka bergetar, dan raungan harimau sekarat itu membuat mereka menjadi makin ketakutan. Mereka hanyut dan tenggelam dalam kengerian, tak sanggup membuka mata dan mereka akhirnya pingsan.
Perhatianku kembali pada si harimau, aku merasa tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Seekor harimau besar dan perkasa, dengan taring dan kuku tajam mati hanya karena tertusuk oleh jari lentik seorang gadis. Ini mengherankan, apa mungkin ini terjadi.
Dan dari mana sebenarnya kekuatanku yang barusan, dan siapa yang menggerakkan tubuhku secepat itu. Apakah ini hayalan, tapi tidak mungkin. Harimau itu nyata, aku bisa merasakan tubuhnya. Bahkan darah yang membasahi tanganku, aku bisa mencium amisnya. Ini asli, ini sungguhan. Apakah ini kekuatan putri bintang, seperti yang telah ibu katakan.
Benar Vriska, itu adalah kekuatan putri bintang. Kekuatan nuranimu yang tak rela pemiliknya terluka, dia berontak tak mau pasrah. Dia ingin kamu bangit, dia mau putri rembulan merah kembali. Membangkitkan klan kita yang telah lama mati, dia ingin kamu hidup Vriska. 
Aku hanya tertegun, masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
Sesungguhnya apa yang terjadi padamu telah digariskan, kamu tidak boleh mengingkarinya. Dia yang ingin kamu hidup menunggu untuk digunakan, dia tak mau kamu menyerah. Tak ingin, tak ingin hanya jadi pajangan. Dia mau kamu berbuat, bukan sekedar berharap.
Belajarlah untuk mengendalikan kekuatan itu, semakin kamu paham, semakin kamu hebat! Sekarang temui temanmu, mereka sangat hawatir terhadapmu…
“Azra, Hasbi…”

***

Syukurlah, Azra dan Hasbi sudah siuman. Mereka terlihat sangat shok sekali, aku tak bisa menerka apa yang mereka bayangkan saat melihat harimau itu menerkamku. Apakah mereka membayangkan tubuhku dicakar, digigit dan terkoyak oleh taring harimau. Ataukah mereka membayangkan harimau itu langsung menelanku bulat-bulat, seperti bakso yang di makan sekaligus. Atau mungkin lebih parah lagi, ntah lah aku tak tahu.
Tapi yang terpenting sekarang mereka sudah siuman.
“Eh kalian udah sadar, kalian nggak apa-apa kan?”
“Vriska” Hasbi menatapku, perlahan espresinya berubah. Dia terlihat sangat senang dan “Aaa… loe nggak apa-apa kan? Nggak kenapa-napa?” dia mendekapku dengan tangan besarnya, membuatku tak bisa bernafas. Hasbi ini memang dekat sekali denganku, dia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Bahkan dia adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk menemaniku ke bukit belakang sekolah. “Jawab! Loe nggak apa-apa kan? Nggak ada yang lecet?”
“Iya aku nggak apa-apa, tapi lepasin dulu. Aku nggak bisa nafas, …”
Dia mengendurkan pelukannya dan mengambil jarak, bukan untuk melepas peluk tapi untuk menempelkan tangannya di pipiku “nggak ada yang lecet kan? Semua aman-aman aja?”.
“Iyyoa…” bibirku monyong menjawab pertanyaananya. Dan dia baru mau melepaskan tangannya setelah mendengar jawaban tersebut. “Aku nggak kenapa-napa kok, tenang aja!”
“Ihhh” dia mencubit hidungku dengan gemas, “Loe tuh udah bikin gue jantungan, gue hampir pipis di celana tadi”.
“Aduh, sakit tahu!” hidungku memerah karena dicubit, “yang pentingkan aku nggak apa-apa!”
“Eh, mana Azra?” matanya langsung melotot, teringat pada teman kami yang satu itu belum bersuara.
“Tuh, dibelakang!”
Dia langsung berbalik, tanpa pikir panjang Hasbi menghampiri Azra yang sejak tadi diam memperhatikan kami. Sejak siuman, dia tidak mengatakan apun. Yang tergambar di wajahnya hanya  heran dan tanda Tanya besar.
Hasbi Memeluk Azra dengan erat, sejuta pertanyaan menyembur dari mulut Hasbi. Seperti apa yang kualami, Azra kwalahan menghadapi Hasbi yang sangat bertenaga. Sampai akhirnya tawa kami pecah, bersamaan dengan itu hapuslah semua duka yang baru saja kami alami. Takut, ngeri, was-was dan cemas mengalir pergi, seperti ikut hanyut di dalamya perlahan ingatan atas kejadian ini pun  menghilang.
Seperti tidak mengalami apa-apa, kami kembali ke sekolah dengan ceria. Tak ada trauama apapun pada kami, yang ada waktu itu hanya capek setelah jalan kaki dari atas bukit. Hasbi terlihat sangat gembira, dia seperti baru saja piknik. Tanpa beban dia kembali ke kelasnya, bahkan pertanyaan dari kak Basri pun dijawab Hasbi dengan mudahnya.
Azra perlahan kembali seperti sedia kala, dia mulai memikirkan tugas-tugasnya yang terlupa. Akibat menemaniku semalaman, dia jadi lupa mengerjakan tugas matematika. Alhasil dia jadi kena bentak dan sangsi dari gurunya, tapi dia tidak mempersoalkannya. Masalah diceramahi guru, baginya adalah hal biasa.
Namun aku kagum, dibalik kedinginan sikapnya Azra memiliki perhatian yang sangat luar biasa. Walaupun tugasnya banyak, dia masih meluangkan waktunya untuk menemaniku ke bukit. Makasih Azra, makasih Hasbi. Aku sayang kalian…
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar