Masih
tentang hariamu, sekarang tubuhku serasa membeku. Aku tak bisa bergerak,
ketakutan dalam diriku menggenggam erat setiap urat syarafku. Aku mendadak
lemas, otot-ototku melunglai. Dadaku terasa sesak, aku seperti diimpit oleh
batu besar. Hanya diam terpaku, terikat oleh rasa takut.
Vriska tenanglah, bertahanlah.
Kamu kuat, kamu hebat. Jangan biarkan ketakutan dalam dirimu berkuasa, jangan
kalah hanya karena raungan semata. Bangkitlah, bangkitlah Vriska!
“Ibu…”
air mataku menentes, kakiku bergetar.
Jangan takut Vriska, tenanglah!
Berjuanglah Vriska, kamu pasti bisa!
Ibu
bener, aku nggak boleh nangis. Aku nggak boleh takut, kalo aku takut siapa yang
bakal nyelametin Azra sama Hasbi. Aku harus
bangkit, Aku kuat…
“AAAAA…”
Teman-temanku
kaget, mereka memejamkan mata. Harimau itu melompat hendak menerjangku, kukunya
yang tajam mengarah langsung ke tubuhku. Detak jantungku jadi tak karuan,
aliran darahku menjadi tak menentu. Otot-ototku menegang, semua syaraf
ditubuhku gemetar. Aku merasa sudah tamat, aku tak bisa berbuat apa-apa. Azra,
Hasbi maaf…
Tapi
anehnya, aku melihat harimau itu sangat lambat. Aku dapat melihat gerakannya
dengan sangat jelas, begitu pelan dan tidak menakutkan. waktu seperti berhenti,
aku merasa ada kekuatan besar mengalir dalam tubuhku.
Kedua
temanku masih menutup mata, mereka tidak berani melihat apa yang akan terjadi
padaku saat harimau itu menerkam.
Tapi kekuatan
yang ada dalam diriku seperti tak menerima, dia terus berontak. Tak ingin aku
menyerah, tak ingin aku kalah. Saat kuku harimau itu hampir mengenaiku,
tiba-tiba saja kakiku melangkah sendiri. Dia melangkah ke sampingkanan, tepat
sebelah kiri si hariamu. Dan secara reflek pula, tangan kiriku meruncingkan
kuku-kukunya dan menusuk harimau itu tepat di perutnya. Aku heran, tubuhku
bergerak sendiri.
AARRRGGGHHH…
Harimau
itu menjerit, raungannya memekakkan telinga. Dia tersungkur ketanah, darah
segar mengalir dari perutnya. Tubuhnya mengejang, meronta-ronta penuh
kesakitan. Tak kuasa aku menyaksikannya, tapi harus bagaimana aku tak bisa
berbuat apa-apa.
Kedua
temanku masih disana, mereka menangis dan berpelukaan. Namun mata mereka
terpejam, mereka tak mau melihat apa yang terjadi barusan. Tubuh mereka
bergetar, dan raungan harimau sekarat itu membuat mereka menjadi makin
ketakutan. Mereka hanyut dan tenggelam dalam kengerian, tak sanggup membuka
mata dan mereka akhirnya pingsan.
Perhatianku
kembali pada si harimau, aku merasa tak percaya dengan apa yang terjadi
barusan. Seekor harimau besar dan perkasa, dengan taring dan kuku tajam mati
hanya karena tertusuk oleh jari lentik seorang gadis. Ini mengherankan, apa
mungkin ini terjadi.
Dan
dari mana sebenarnya kekuatanku yang barusan, dan siapa yang menggerakkan
tubuhku secepat itu. Apakah ini hayalan, tapi tidak mungkin. Harimau itu nyata,
aku bisa merasakan tubuhnya. Bahkan darah yang membasahi tanganku, aku bisa
mencium amisnya. Ini asli, ini sungguhan. Apakah ini kekuatan putri bintang,
seperti yang telah ibu katakan.
Benar Vriska, itu adalah kekuatan
putri bintang. Kekuatan nuranimu yang tak rela pemiliknya terluka, dia berontak
tak mau pasrah. Dia ingin kamu bangit, dia mau putri rembulan merah kembali.
Membangkitkan klan kita yang telah lama mati, dia ingin kamu hidup Vriska.
Aku
hanya tertegun, masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
Sesungguhnya apa yang terjadi
padamu telah digariskan, kamu tidak boleh mengingkarinya. Dia yang ingin kamu
hidup menunggu untuk digunakan, dia tak mau kamu menyerah. Tak ingin, tak ingin
hanya jadi pajangan. Dia mau kamu berbuat, bukan sekedar berharap.
Belajarlah untuk mengendalikan
kekuatan itu, semakin kamu paham, semakin kamu hebat! Sekarang temui temanmu,
mereka sangat hawatir terhadapmu…
“Azra,
Hasbi…”
***
Syukurlah,
Azra dan Hasbi sudah siuman. Mereka terlihat sangat shok sekali, aku tak bisa
menerka apa yang mereka bayangkan saat melihat harimau itu menerkamku. Apakah
mereka membayangkan tubuhku dicakar, digigit dan terkoyak oleh taring harimau.
Ataukah mereka membayangkan harimau itu langsung menelanku bulat-bulat, seperti
bakso yang di makan sekaligus. Atau mungkin lebih parah lagi, ntah lah aku tak
tahu.
Tapi
yang terpenting sekarang mereka sudah siuman.
“Eh
kalian udah sadar, kalian nggak apa-apa kan?”
“Vriska”
Hasbi menatapku, perlahan espresinya berubah. Dia terlihat sangat senang dan
“Aaa… loe nggak apa-apa kan? Nggak kenapa-napa?” dia mendekapku dengan tangan
besarnya, membuatku tak bisa bernafas. Hasbi ini memang dekat sekali denganku,
dia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Bahkan dia adalah orang pertama
yang menawarkan diri untuk menemaniku ke bukit belakang sekolah. “Jawab! Loe
nggak apa-apa kan? Nggak ada yang lecet?”
“Iya
aku nggak apa-apa, tapi lepasin dulu. Aku nggak bisa nafas, …”
Dia
mengendurkan pelukannya dan mengambil jarak, bukan untuk melepas peluk tapi
untuk menempelkan tangannya di pipiku “nggak ada yang lecet kan? Semua
aman-aman aja?”.
“Iyyoa…”
bibirku monyong menjawab pertanyaananya. Dan dia baru mau melepaskan tangannya
setelah mendengar jawaban tersebut. “Aku nggak kenapa-napa kok, tenang aja!”
“Ihhh”
dia mencubit hidungku dengan gemas, “Loe tuh udah bikin gue jantungan, gue
hampir pipis di celana tadi”.
“Aduh,
sakit tahu!” hidungku memerah karena dicubit, “yang pentingkan aku nggak
apa-apa!”
“Eh,
mana Azra?” matanya langsung melotot, teringat pada teman kami yang satu itu
belum bersuara.
“Tuh,
dibelakang!”
Dia langsung
berbalik, tanpa pikir panjang Hasbi menghampiri Azra yang sejak tadi diam
memperhatikan kami. Sejak siuman, dia tidak mengatakan apun. Yang tergambar di
wajahnya hanya heran dan tanda Tanya
besar.
Hasbi
Memeluk Azra dengan erat, sejuta pertanyaan menyembur dari mulut Hasbi. Seperti
apa yang kualami, Azra kwalahan menghadapi Hasbi yang sangat bertenaga. Sampai
akhirnya tawa kami pecah, bersamaan dengan itu hapuslah semua duka yang baru
saja kami alami. Takut, ngeri, was-was dan cemas mengalir pergi, seperti ikut
hanyut di dalamya perlahan ingatan atas kejadian ini pun menghilang.
Seperti
tidak mengalami apa-apa, kami kembali ke sekolah dengan ceria. Tak ada trauama
apapun pada kami, yang ada waktu itu hanya capek setelah jalan kaki dari atas
bukit. Hasbi terlihat sangat gembira, dia seperti baru saja piknik. Tanpa beban
dia kembali ke kelasnya, bahkan pertanyaan dari kak Basri pun dijawab Hasbi
dengan mudahnya.
Azra
perlahan kembali seperti sedia kala, dia mulai memikirkan tugas-tugasnya yang
terlupa. Akibat menemaniku semalaman, dia jadi lupa mengerjakan tugas
matematika. Alhasil dia jadi kena bentak dan sangsi dari gurunya, tapi dia
tidak mempersoalkannya. Masalah diceramahi guru, baginya adalah hal biasa.
Namun
aku kagum, dibalik kedinginan sikapnya Azra memiliki perhatian yang sangat luar
biasa. Walaupun tugasnya banyak, dia masih meluangkan waktunya untuk menemaniku
ke bukit. Makasih Azra, makasih Hasbi. Aku sayang kalian…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar