Malam ini
adalah malam pembebasan, malam yang menjadi permulaan. Awal untuk sebuah
kebenaran dan awal untuk sebuah petualangan. Aku adalah Vriska, ya kalian sudah
tahu. Karena aku telah menyebutkannya berulang kali di episode sebelumnya, masa
lupa.
Malam ini
sunyi sekali, begitu hening dan sepi. Suara serangga malam tak terdengar,
kunang-kunang pun tak terlihat memainkan tarian obor berjalan. Sungguh
mencekam, yang ada hanya kegelapan. Bayangan pohon menutupi pemandangan dan
langit tak lagi ditaburi bintang yang gemerlapan. Hanya rembulan itu, rembulan
merah yang menatap dengan temaram. Cahaya kelam di langit pegunungan yang
memancarkan kengerian, sungguh menakutkan.
Sekarang
aku disini, dengan tekad yang penuh untuk mencari sebuah jawaban. Dengan berbekal
rasa penasaran, aku memberanikan diriku untuk menyongsong kegelapan. Ditemani
Azra dan Hasbi, aku membuat kemah di puncak bukit belakang sekolah. Satu yang
menjadi keinginanku saat ini, pembuktian.
Aku harus
mendapat jawaban, siapa gadis yang yang semalam. Kenapa dia menyebutku putri
bintang, apa maksudnya, apa tujuannya dan siapa dia. Dan kenapa aku, kenapa dia
datang padaku. Kenapa harus aku, kenapa bukan Azra atau Hasbi. Kenapa aku, apa
alasannya.
***
Udara
dingin mulai menjalar, menembus jaket hitam yang kukenakan. Api unggun pun tak
lagi menghangatkan, malam kian larut. Kedua temanku telah terlelap dalam
pancaran kehangatan api impian, mereka telah berpetualang entah kemana.
Menjejaki setiap tempat dalam imajinasi, mencicipi manisnya sajian mimpi.
Sekarang
tinggal aku, termenung di depan api unggun. Tepat diatas kepalaku bulan merah
yang mencekam, dan di sekelilingku hanya ada kegelapan. Sekarang tinggal aku
sendiri di malam yang kian larut, dan semangatku mulai surut. Tapi gadis itu
belum muncul juga, bahkan tanda yang dia janjikan sebagai petunjuk tak kulihat
sama sekali. Yang ada hanya diam, kelam, dan gelap.
Mataku
mulai berat, tubuhku telah lelah. Tak tahan lagi rasanya aku menahan kantuk
yang begitu kuat, dunia seakan berputar. Dan aku serasa terombang-ambing
dilautan, tubuhku perlahan kehilangan keseimbangan dan aku…
Vriska… Vriska putriku… Bangun sayang, ibu datang
memenuhi harapanmu… Vriska… bangun nak… bangun lah…
Siapa?
Tangan siapa ini? Hangat, pipiku, ini siapa?
Bangun sayang… ini ibu…
“Ibu? Ibu
siapa?”
Aku, ibu asuhmu vriska. Aku datang sesuai
keinginanmu, akan kupenuhi harapanmu. Seperti yang kujanjikan semalam, akan
kutunjukan…
“Tunggu,
apa ini? Apa ini mimpi?”
Bukan Vriska, ini nyata… kamu tidak bermimpi, aku
benar-benar datang menemuimu seperti yang kujanjikan semalam. Pegang tanganku
Vriska, ayo kita pergi…
Perlahan
aku berdiri, kusambut uluran tangan itu. Aku menggenggamnya, ini nyata. Dia
benar-benar ada, wanita itu tidak berbohong. Aku merasakannya, hangat sekali…
Bagus, ayo…
Perlahan
tubuhku terangkat, kami terbang. Hembusan angin malam di iringi pesona langit
gelap menyapaku, aku tertegun tak percaya. Namun ini nyata, makin lama kakiku
makin jauh dari tanah. Aku melesat keangkasa, menuju bulan merah itu dan
meninggalkan bumi.
Dapat
kusaksikan kedua temanku yang sedang terlelap dari atas, api unggun yang masih
menyalakan bara terlihat sangat kecil. Mereka bagaikan mercusuar yang dilihat
dari sebrang lautan, semakin kecil dan tak terlihat.
Namun,
ketika aku melihat ke atas. Rembulan merah tampak jelas dan nyata, seringainya
menyambut kedatanganku. Aku dapat merasakan kengerian di baliknya, sangat
mencekam dan menakutkan. Perempuan yang bersamaku tidak bergeming, pandangannya
lurus kedepan. Dia terlihat sangat bahagia dapat membawaku ke bulan merah itu,
sebenarnya apa tujuannya.
“Siapa
kamu sebenarnya? Mau kemana kita?”
Panggil saja aku ibu Vriska, aku adalah ibu asuhmu
sekarang. Kita akan pergi ke bulan, akan kutunjukan apa yang kujanjikan…
“Kebulan
itu, bulan merah itu?”
Ya kesana, tepat ke pusat bulan merah itu. Kita akan
kesana Vriska, ketempat asal dari kekuatanmu, Kediaman putri bintang.
“Tapi
kenapa?” aku menjadi sangat penasaran, untuk apa aku dibawa kesana. “Kenapa
kita harus kesana? Memangnya untuk apa?”
Kamu, semua demi kamu Vriska. Kamu adalah gadis
pilihan, pewaris rembulan merah… kita akan penuhi takdirmu, menjadi penerus
putri bintang…
Aku
terkejut mendengar kata-kata itu.
“Benarkah?”
Tentu saja…
***
Keesokan paginya…
“Vris…
Vriska bangun! Udah pagi nih, cepet bangun!”
“Iya Vris
cepet bangun, ntar kita telat loh kesekolah!”
“Ahhh… brisik
tau, bentar lagi kenapa?”
“Vris
udah nggak bisa, udah jam berapa nih?”
“Iya
Vris, ini udah jam tujuh. Kita harus sekolah, cepet bangun!”
“BERISIK!!!”
“Udahlah
Bi, kita pergi aja. Biarin Vriska di sini, ntar dia bangun sendiri kok…”
“Tapi kan
Ra, kalau nggak berangkat sekarang… Vris ayo bangun, kalo loe telat lagi loe bisa
diskor dari sekolah.”
“BODO!”
“Udahlah
Bi, nggak ada gunanya lagi ngebujuk dia. Mending kita pergi, dari pada kita
dihukum!”
“Vris gue
duluan ya, moga loe gak kenapa-napa”
“Ayo Bi!”
Matahari
telah meninggi, sinarnya perlahan menembus kelopak mataku dan menyilaukannya.
Aku tersadar, udara sejuk menyambutku. Aku merasa segar sekali, seperti
terlahir kembali. Aku merasakan tubuhku menjadi berbeda, penglihatanku menjadi
lebih jernih. Pendengaranku menjadi lebih awas, kulitku lebih peka dan bahkan
penciumanku jadi lebih tajam.
Lama aku
mengumpulkan kembali nyawaku yang telah terpencar ke segala penjuru, menghirup
udara bebas tak langsung memulihkan kesadaranku. Biarpun perubahan yang terjadi
mudah kusadari, tapi kesadaranku belum pulih sepenuhnya.
Sampai,
“Ini jam berapa?” kulihat jarum jam tangan ku yang melingkar indah di lengan
kananku. “Hah, jam Sembilan…” kesadaranku total, energiku meningkat derastis.
“Aku harus cepet! Udah telat kesekolah” kubereskan perlengkapanku, dan
kumasukan semuanya ke dalam ransel.
Saat
melihat sekeliling, aku baru sadar bahwa Azra dan Hasbi telah raib ntah kemana.
“Hah… Azra sama Hasbi mana? Tega banget sih ninggalin sendirian, mana nggak
ngebangunin lagi”. Rasa kesal mengumpul di benakku, “Awas ya kalo ketemu, nggak
bakal aku traktir makan mie ayam lagi!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar