Jumat, 14 November 2014

Satu



Malam ini adalah malam pembebasan, malam yang menjadi permulaan. Awal untuk sebuah kebenaran dan awal untuk sebuah petualangan. Aku adalah Vriska, ya kalian sudah tahu. Karena aku telah menyebutkannya berulang kali di episode sebelumnya, masa lupa.
Malam ini sunyi sekali, begitu hening dan sepi. Suara serangga malam tak terdengar, kunang-kunang pun tak terlihat memainkan tarian obor berjalan. Sungguh mencekam, yang ada hanya kegelapan. Bayangan pohon menutupi pemandangan dan langit tak lagi ditaburi bintang yang gemerlapan. Hanya rembulan itu, rembulan merah yang menatap dengan temaram. Cahaya kelam di langit pegunungan yang memancarkan kengerian, sungguh menakutkan.
Sekarang aku disini, dengan tekad yang penuh untuk mencari sebuah jawaban. Dengan berbekal rasa penasaran, aku memberanikan diriku untuk menyongsong kegelapan. Ditemani Azra dan Hasbi, aku membuat kemah di puncak bukit belakang sekolah. Satu yang menjadi keinginanku saat ini, pembuktian.
Aku harus mendapat jawaban, siapa gadis yang yang semalam. Kenapa dia menyebutku putri bintang, apa maksudnya, apa tujuannya dan siapa dia. Dan kenapa aku, kenapa dia datang padaku. Kenapa harus aku, kenapa bukan Azra atau Hasbi. Kenapa aku, apa alasannya.

***

Udara dingin mulai menjalar, menembus jaket hitam yang kukenakan. Api unggun pun tak lagi menghangatkan, malam kian larut. Kedua temanku telah terlelap dalam pancaran kehangatan api impian, mereka telah berpetualang entah kemana. Menjejaki setiap tempat dalam imajinasi, mencicipi manisnya sajian mimpi.
Sekarang tinggal aku, termenung di depan api unggun. Tepat diatas kepalaku bulan merah yang mencekam, dan di sekelilingku hanya ada kegelapan. Sekarang tinggal aku sendiri di malam yang kian larut, dan semangatku mulai surut. Tapi gadis itu belum muncul juga, bahkan tanda yang dia janjikan sebagai petunjuk tak kulihat sama sekali. Yang ada hanya diam, kelam, dan gelap.
Mataku mulai berat, tubuhku telah lelah. Tak tahan lagi rasanya aku menahan kantuk yang begitu kuat, dunia seakan berputar. Dan aku serasa terombang-ambing dilautan, tubuhku perlahan kehilangan keseimbangan dan aku…
Vriska… Vriska putriku… Bangun sayang, ibu datang memenuhi harapanmu… Vriska… bangun nak… bangun lah…
Siapa? Tangan siapa ini? Hangat, pipiku, ini siapa?
Bangun sayang… ini ibu…
“Ibu? Ibu siapa?”
Aku, ibu asuhmu vriska. Aku datang sesuai keinginanmu, akan kupenuhi harapanmu. Seperti yang kujanjikan semalam, akan kutunjukan…
“Tunggu, apa ini? Apa ini mimpi?”
Bukan Vriska, ini nyata… kamu tidak bermimpi, aku benar-benar datang menemuimu seperti yang kujanjikan semalam. Pegang tanganku Vriska, ayo kita pergi…
Perlahan aku berdiri, kusambut uluran tangan itu. Aku menggenggamnya, ini nyata. Dia benar-benar ada, wanita itu tidak berbohong. Aku merasakannya, hangat sekali…
Bagus, ayo…
Perlahan tubuhku terangkat, kami terbang. Hembusan angin malam di iringi pesona langit gelap menyapaku, aku tertegun tak percaya. Namun ini nyata, makin lama kakiku makin jauh dari tanah. Aku melesat keangkasa, menuju bulan merah itu dan meninggalkan bumi.
Dapat kusaksikan kedua temanku yang sedang terlelap dari atas, api unggun yang masih menyalakan bara terlihat sangat kecil. Mereka bagaikan mercusuar yang dilihat dari sebrang lautan, semakin kecil dan tak terlihat.
Namun, ketika aku melihat ke atas. Rembulan merah tampak jelas dan nyata, seringainya menyambut kedatanganku. Aku dapat merasakan kengerian di baliknya, sangat mencekam dan menakutkan. Perempuan yang bersamaku tidak bergeming, pandangannya lurus kedepan. Dia terlihat sangat bahagia dapat membawaku ke bulan merah itu, sebenarnya apa tujuannya.
“Siapa kamu sebenarnya? Mau kemana kita?”
Panggil saja aku ibu Vriska, aku adalah ibu asuhmu sekarang. Kita akan pergi ke bulan, akan kutunjukan apa yang kujanjikan…
“Kebulan itu, bulan merah itu?”
Ya kesana, tepat ke pusat bulan merah itu. Kita akan kesana Vriska, ketempat asal dari kekuatanmu, Kediaman putri bintang.
“Tapi kenapa?” aku menjadi sangat penasaran, untuk apa aku dibawa kesana. “Kenapa kita harus kesana? Memangnya untuk apa?”
Kamu, semua demi kamu Vriska. Kamu adalah gadis pilihan, pewaris rembulan merah… kita akan penuhi takdirmu, menjadi penerus putri bintang…
Aku terkejut mendengar kata-kata itu.
“Benarkah?”
Tentu saja…

***

Keesokan paginya…
“Vris… Vriska bangun! Udah pagi nih, cepet bangun!”
“Iya Vris cepet bangun, ntar kita telat loh kesekolah!”
“Ahhh… brisik tau, bentar lagi kenapa?”
“Vris udah nggak bisa, udah jam berapa nih?”
“Iya Vris, ini udah jam tujuh. Kita harus sekolah, cepet bangun!”
“BERISIK!!!”
“Udahlah Bi, kita pergi aja. Biarin Vriska di sini, ntar dia bangun sendiri kok…”
“Tapi kan Ra, kalau nggak berangkat sekarang… Vris ayo bangun, kalo loe telat lagi loe bisa diskor dari sekolah.”
“BODO!”
“Udahlah Bi, nggak ada gunanya lagi ngebujuk dia. Mending kita pergi, dari pada kita dihukum!”
“Vris gue duluan ya, moga loe gak kenapa-napa”
“Ayo Bi!”
Matahari telah meninggi, sinarnya perlahan menembus kelopak mataku dan menyilaukannya. Aku tersadar, udara sejuk menyambutku. Aku merasa segar sekali, seperti terlahir kembali. Aku merasakan tubuhku menjadi berbeda, penglihatanku menjadi lebih jernih. Pendengaranku menjadi lebih awas, kulitku lebih peka dan bahkan penciumanku jadi lebih tajam.
Lama aku mengumpulkan kembali nyawaku yang telah terpencar ke segala penjuru, menghirup udara bebas tak langsung memulihkan kesadaranku. Biarpun perubahan yang terjadi mudah kusadari, tapi kesadaranku belum pulih sepenuhnya.
Sampai, “Ini jam berapa?” kulihat jarum jam tangan ku yang melingkar indah di lengan kananku. “Hah, jam Sembilan…” kesadaranku total, energiku meningkat derastis. “Aku harus cepet! Udah telat kesekolah” kubereskan perlengkapanku, dan kumasukan semuanya ke dalam ransel.
Saat melihat sekeliling, aku baru sadar bahwa Azra dan Hasbi telah raib ntah kemana. “Hah… Azra sama Hasbi mana? Tega banget sih ninggalin sendirian, mana nggak ngebangunin lagi”. Rasa kesal mengumpul di benakku, “Awas ya kalo ketemu, nggak bakal aku traktir makan mie ayam lagi!”  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar